KUANTAN HILIR | Go Indonesia.id – Aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di wilayah Kecamatan Kuantan Hilir dan Kuantan Hilir Seberang, Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Provinsi Riau, kembali mencuat ke permukaan.
Fenomena ini viral di berbagai media sosial setelah hasil investigasi lapangan menunjukkan ratusan unit rakit dompeng masih beroperasi siang dan malam di bawah pengawasan minim aparat.
Temuan di lapangan pada Kamis (30/10/2025) memperlihatkan bahwa aktivitas tambang ilegal tersebut menyebar di berbagai titik. Di wilayah Basrah, tepatnya di aliran Sungai Kuko dan sekitarnya, terdapat sekitar 100 unit rakit. Sementara di kawasan Desa Kasang Limau Sundai dan Rawang Oguong, jumlah keseluruhan mencapai sekitar 400 rakit aktif.
Seorang warga berinisial DP membenarkan bahwa aktivitas PETI ini tidak berjalan tanpa kendali. DP mengungkap, ada sejumlah nama yang diduga menjadi pengurus lapangan dan pengendali operasional PETI di wilayah tersebut.
βTidak rahasia lagi, semua orang tahu siapa yang mengurus ini. Sudah sering muncul di media sosial, tapi aktivitas tetap jalan. Mereka memfasilitasi hubungan antara pelaku tambang dengan pihak tertentu, termasuk rekan wartawan maupun APH,β ujar DP kepada awak media.
DP menyebut nama Andos, warga Desa Lombok, dan Bujang, warga Desa Teratak Jering, sebagai pihak yang diduga menjadi pengurus utama PETI di Desa Kasang Limau Sundai. Sedangkan untuk wilayah Rawang Oguong, nama Mamud disebut berperan sebagai koordinator lapangan.
Aktivitas tambang ilegal di wilayah Sektor Polsek Kuantan Hilir, Polres Kuansing ini disebut sudah berlangsung lama. Bahkan, masyarakat menduga adanya pembiaran terstruktur karena tidak ada langkah nyata dari aparat untuk menghentikan operasi yang merusak lingkungan itu.
Padahal, praktik tambang emas tanpa izin jelas melanggar hukum. Berdasarkan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), disebutkan :
βSetiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin usaha pertambangan, izin pertambangan rakyat, atau izin usaha pertambangan khusus dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.β
Meski pelanggaran hukum ini sudah lama menjadi sorotan publik, hingga kini belum terlihat tindakan tegas terhadap para pelaku dan pengendali di lapangan. Publik mendesak agar penegakan hukum tidak lagi hanya menyasar pekerja dompeng, melainkan menyentuh aktor intelektual yang mengatur dan memfasilitasi kegiatan ilegal tersebut.
Pakar Hukum Internasional dan Ekonom, Prof. Dr. KH. Sutan Nasomal, S.Pd.I, SE, SH, MH, LLB, LLM, Ph.D, mengecam keras pembiaran tersebut. Ia menilai praktik PETI di Kuantan Hilir bukan sekadar pelanggaran lingkungan, tetapi juga mencerminkan keruntuhan moral dan kegagalan tata kelola hukum di daerah.
βNegara tidak boleh tunduk pada mafia tambang. Ini bukan hanya soal hukum, tetapi soal martabat bangsa dan kedaulatan ekonomi. Jika aparat menutup mata, itu sama saja dengan mengkhianati konstitusi dan menyalahi prinsip keadilan sosial,β tegas Prof. Sutan Nasomal.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa pembiaran terhadap aktivitas PETI dapat menimbulkan kerusakan ekologis permanen, sekaligus kerugian ekonomi negara yang sangat besar akibat hilangnya potensi pajak dan kerusakan infrastruktur.
βHarus ada shock therapy. Tangkap aktor intelektualnya, sita seluruh alat berat dan rakit dompeng, serta usut aliran uang hasil tambang ilegal ini. Kalau tidak, rakyat akan kehilangan kepercayaan pada hukum,β pungkasnya.
Sorotan terhadap maraknya aktivitas PETI di Kuantan Hilir kini menjadi cermin lemahnya penegakan hukum dan pengawasan lingkungan di daerah. Publik berharap Kapolres Kuansing dan Polda Riau segera turun tangan melakukan penindakan nyata, bukan sekadar imbauan di atas kertas.(*)
REDAKSI
 
									 

 
											 
 
 
 
 
 

