Dari Global ke Lokal: Bias Gender dalam Perspektif Masyarakat dan Proses Lokalisasi yang Masih Tabu

IMG 20250427 WA0010

MAMURERE | Go Indonesia.id_ Kebisingan suara kendaraan bermotor mengiringi hiruk-pikuk Pasar Alok, Maumere — salah satu pusat perbelanjaan kebutuhan primer dan sekunder.

Di tengah keramaian tersebut, terselip sebuah kenyataan pahit: pemahaman masyarakat terhadap konsep kesetaraan gender masih sangat terbatas.

Bacaan Lainnya

Advertisement

Padahal, setiap individu berhak hidup bebas dan setara, tanpa diskriminasi.

Pengalaman pribadi saya berinteraksi dengan seorang teman, seorang waria, membuka mata saya terhadap realitas sosial ini. Wawasan luas yang dimilikinya membuat saya kagum.

Namun, ketika kami berjalan bersama di ruang publik, tatapan masyarakat penuh dengan prasangka. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, waria didefinisikan sebagai pria yang bersifat dan bertingkah laku seperti wanita.

Namun di Maumere — sebuah kota yang masih kuat memegang adat dan tradisi — kehadiran waria kerap dianggap tabu.

Sejarah mencatat bahwa istilah waria mulai digunakan pada 1978, menggantikan istilah wadam yang diperkenalkan oleh Ali Sadikin pada 1960-an.

Wadam adalah singkatan dari “wanita Adam,” namun kemudian diganti untuk menghilangkan konotasi negatif. Menurut Ben Murtagh dalam Genders and Sexualities in Indonesian Cinema dan Tom Boellstorff dalam tulisannya tentang waria, istilah ini menjadi alternatif yang lebih netral dibandingkan sebutan “banci” atau “bencong”, yang sarat makna merendahkan.

“Saya merasa nyaman menjadi diri sendiri dengan penampilan perempuan.

Saya bergaul dengan siapa pun tanpa memandang ras, suku, agama, atau gender,” tutur teman waria saya. Ia menambahkan bahwa diskriminasi, baik verbal maupun non-verbal, masih sering mereka alami.

Padahal, nilai seseorang seharusnya tidak diukur dari penampilannya, melainkan dari kontribusi dan sikapnya dalam bermasyarakat.

Sayangnya, diskriminasi tidak hanya menimpa kelompok waria, tetapi juga perempuan pada umumnya. Pelecehan seksual kerap terjadi di ruang publik, dan diskusi tentang isu lokalisasi di media sosial seperti Facebook masih dianggap tabu di Maumere.

Ketiadaan payung hukum terkait lokalisasi membuat upaya melindungi hak-hak pekerja seks menjadi sulit.

Perlu disadari bahwa pekerja seks tidak selalu perempuan. Di era modern, pekerja seks bisa berupa waria atau pria yang dikenal dengan istilah gigolo.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, gigolo diartikan sebagai laki-laki bayaran yang menjadi kekasih wanita, atau pria sewaan untuk berdansa. Fenomena ini, meski berasal dari Eropa, telah beradaptasi dalam konteks sosial Indonesia.

Seorang teman saya, yang bisa disebut gigolo, pernah mengaku mendapatkan bayaran antara Rp50.000 hingga Rp100.000 untuk sekali kencan, bergantung pada penampilan fisik.

“Kalau wajah tampan, kita bisa pasang tarif lebih tinggi,” ujarnya. Bahkan kini, hubungan “peliharaan” atau “sewaan” bisa terjadi sebaliknya: seorang waria bisa memiliki pria sebagai pasangan sewaan, ataupun sebaliknya.

Fenomena ini menegaskan perlunya pemahaman yang lebih luas dan adil tentang gender di masyarakat.

Sayangnya, di Maumere, isu-isu seperti ini masih sering disembunyikan, meskipun dalam praktiknya cukup banyak terjadi.

Pemerintah perlu berperan aktif dalam mengatur kesetaraan gender melalui regulasi yang adil dan melindungi semua pihak dari diskriminasi berbasis ras, suku, agama, maupun gender.

Selain itu, perlindungan hukum juga penting untuk mencegah anak di bawah umur tergiur menjadi pekerja seks demi memenuhi kebutuhan ekonomi.

Realitanya, banyak pekerja seks berasal dari kelas menengah ke bawah, terpaksa memilih jalan ini akibat terbatasnya kesempatan kerja formal dan kerasnya persaingan ekonomi.

Tanpa adanya dukungan sistem sosial yang kuat, mereka rentan mengalami kriminalisasi dan diskriminasi berkelanjutan.

Sudah saatnya kita, sebagai masyarakat, membuka mata terhadap realitas ini  bukan untuk menghakimi, tetapi untuk memahami, melindungi, dan membangun tatanan sosial yang lebih adil dan manusiawi. (Red)

Oleh : Desiteratio

 


Advertisement

Pos terkait