Rempang dan PLTS Terapung: Ketika Energi Bersih Menguji Marwah dan Budaya Melayu

IMG 20250715 WA0033

BATAM | Go Indonesia.id โ€“ Pulau Rempang kembali menjadi sorotan nasional. Namun, kali ini bukan karena isu penggusuran lahan adat seperti yang sempat mencuat pada tahun 2023 lalu, melainkan karena rencana pembangunan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung di atas perairan Rempang. Proyek ini disebut-sebut sebagai bagian dari program ekspor energi bersih Indonesia ke Singapura.

Meski terdengar menjanjikan dari sisi ekonomi dan lingkungan, proyek ini justru memantik tanya dari kalangan adat dan pemerhati budaya: Apakah pembangunan ini hanya soal kilowatt dan dollar, atau juga menyangkut warisan identitas, ruang hidup, dan marwah masyarakat Melayu?

Bacaan Lainnya

Advertisement

Suara Melayu Mulai Layu di Kursi Kekuasaan

Ironisnya, di tengah gegap gempita pembangunan, suara-suara dari para tokoh Melayu yang duduk di struktur pemerintahan justru makin samar. Padahal, lebih dari 80% pejabat di Kepulauan Riau berlatar belakang etnis Melayu.

> โ€œPejabat 80% Melayu, tapi setelah menjabat, jadi layu,โ€ sindir seorang tokoh adat dari Pulau Bintan.

โ€œDulu suara garang melebihi harimau, sekarang penuh alasan: takut kualat, takut menyinggung,โ€ lanjutnya.

Kritik ini menyasar pada sikap pasif para pemangku jabatan yang dianggap lebih sibuk menjaga relasi kuasa ketimbang memperjuangkan marwah rakyat yang mereka wakili.

Mana Bugis? Saatnya Bangkit Bersama Melayu

Sejarah mencatat bahwa Melayu dan Bugis adalah dua etnis serumpun yang telah berbagi ruang hidup, perjuangan, dan kepemimpinan di Kepulauan Riau sejak ratusan tahun silam. Maka ketika tanah dan identitas kembali dipertaruhkan, wajar jika muncul pertanyaan:

> โ€œMana Bugis? Sudah saatnya bangkit bahu membahu dengan Melayu. Tegakkan kebenaran, lawan kezoliman. Jangan ikut menzolimi. Kita bisa kualat pada nenek moyang yang terkubur di tanah Melayu ini,โ€ ucap seorang pemerhati budaya.

Antara Simbol dan Substansi: Budaya yang Kehilangan Daya

Di tengah memanasnya isu Rempang, acara budaya seperti Haul Sultan Abdulrahman Muโ€™adzam Syah di Penyengat justru kehilangan daya dorong strategis. Acara yang sejatinya dapat menjadi panggung konsolidasi budaya dan perlawanan, kini hanya menjadi seremoni tahunan yang dihadiri oleh sedikit tokoh sentral.

> โ€œTiada tokoh Melayu yang hadir bukan berarti tidak sepakat. Tapi jangan sampai budaya kehilangan daya karena sibuk menjadwalkan kesibukan,โ€ sentil seorang budayawan.

Budaya, jika hanya dijalankan dalam bentuk upacara tanpa perlawanan, tak lebih dari formalitas yang kehilangan roh perjuangan.

Pembangunan Tanpa Ruh Budaya = Konflik

Dr. Rizal Rahim, pakar budaya dari Universitas Maritim Raja Ali Haji, mengingatkan bahwa kearifan lokal bukan penghambat pembangunan, melainkan mekanisme alami masyarakat untuk menjaga harmoni antara manusia, alam, dan kekuasaan.

> โ€œJika pembangunan mengabaikan ini, maka yang lahir adalah ketimpangan, konflik, dan hilangnya identitas,โ€ tegasnya.

Ia juga menekankan bahwa perairan Rempang bukan sekadar lokasi kosong, melainkan ruang hidup spiritual yang menyimpan nilai ekologis tinggi. โ€œMembangun tanpa menghitung ruh budaya adalah seperti membangun rumah tanpa pondasi,โ€ pungkasnya.

Kolonialisme Energi Gaya Baru?

Ir. Baharuddin Saleh, pengamat kebijakan energi dan lingkungan, menyebut proyek PLTS terapung untuk ekspor sebagai ide besar, namun harus dikawal dengan pertanyaan mendasar:

> โ€œSiapa pemilik lahan perairan? Bagaimana kompensasi sosialnya? Apakah masyarakat lokal dilibatkan dalam manfaat ekonominya? Jika tidak, maka ini hanyalah bentuk kolonialisme energi gaya baru.โ€

Ia juga menyarankan agar pembangunan energi skala besar lebih tepat ditempatkan di pulau-pulau terluar seperti Pulau Nipah, yang strategis secara geopolitik dan jauh dari ruang hidup masyarakat adat.

Budaya, Pilar Terakhir Perlawanan

Dengan nada satire, Tengku Muhammad Fuad, seorang budayawan Melayu, mengingatkan:

> โ€œBarang siapa berbaik-baik sangat dengan pejabat, walau pun bodoh dianggap hebat. Barang kali dia tak bodoh, dia hanya pejabat yang selalu dipandang hebatโ€ฆโ€

Fuad menegaskan bahwa budaya adalah benteng terakhir dalam mempertahankan hak dan marwah. โ€œMelayu tidak hilang. Meski kayu diukir pahat, takkan besi disepuh emas. Meski terdesak, Melayu masih punya harga, marwah, dan semangat mempertahankan yang benar,โ€ tandasnya.

Reporter: Edy
Editor: Redaksi Go Indonesia


Advertisement

Pos terkait