GAMNR Kecam Proyek Taman Gurindam 12: “Tembok Anggaran” Khianati Ruang Publik dan Budaya Melayu

IMG 20250718 WA0001

TANJUNGPINANG | Go Indonesia.id — Gerakan Anak Melayu Negeri Riau (GAMNR) menyatakan kekecewaan dan penolakan keras terhadap arah pembangunan lanjutan proyek Taman Gurindam 12 di Kota Tanjungpinang. (17/7/25).

Organisasi ini menilai, pembangunan fisik berupa tembok setinggi satu meter di sepanjang tepi taman telah mengingkari fungsi dasar ruang publik dan merusak nilai estetika budaya Melayu pesisir.

Bacaan Lainnya

Advertisement

Ketua GAMNR, Said Ahmad Syukri atau akrab disapa Sas Joni, menyebut tembok tersebut sebagai simbol keterputusan pembangunan dari jiwa rakyat dan warisan budaya.

“Taman Gurindam 12 bukan sekadar proyek beton. Ia adalah simbol terbuka warisan Raja Ali Haji.

Ketika dibentengi tembok, yang dipenjara bukan hanya pandangan ke laut, tapi juga semangat keterbukaan budaya itu sendiri,” tegas Sas Joni.

Ruang Terbuka Kini Tertutup

Taman Gurindam 12, yang berada di garis depan pesisir Tanjungpinang, sebelumnya dikenal sebagai ruang publik aktif yang mewadahi interaksi sosial, pertunjukan budaya, serta menjadi tempat generasi muda mengakrabi identitas Melayu.

Namun kini, GAMNR menilai taman tersebut justru berubah menjadi kawasan terisolasi akibat keberadaan tembok dan material konstruksi yang berserakan.

GAMNR pun mempertanyakan arah pembangunan tersebut:

Untuk siapa proyek ini dibangun?

Mengapa ruang publik justru disekat?

Mengapa anggaran Rp4 miliar tidak disertai dengan kepekaan budaya dan sosial?

> “Ini bukan hanya soal tembok, ini soal mentalitas kekuasaan yang gagal memahami esensi ruang bersama. Apakah Pemprov Kepri membangun untuk rakyat atau demi laporan proyek semata?” ucapnya.

Tuntutan GAMNR

Sebagai respons atas kondisi tersebut, GAMNR menyampaikan empat tuntutan kepada Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau:

1. Membongkar atau mengubah struktur tembok yang menghalangi akses visual dan nilai estetika kawasan.

2. Meninjau ulang desain lanjutan proyek agar berbasis pada kearifan lokal dan prinsip keterbukaan ruang.

3. Melibatkan budayawan, arsitek lokal, dan komunitas warga dalam proses perencanaan dan penataan kawasan.

4. Menghentikan proyek yang menyingkirkan rakyat dari akses ke laut dan ruang budaya mereka.

“Taman Gurindam 12 seharusnya menjadi milik bersama, bukan kawasan eksklusif yang ditata tanpa akal dan rasa.

Jangan sampai nama ‘Gurindam’ hanya jadi branding proyek, sementara jiwanya dilucuti demi laporan pekerjaan fisik belaka,” pungkas Sas Joni.

Reporter: Edy | Go Indonesia.id


Advertisement

Pos terkait