SOLOK SELATAN | Go Indonesia.id – Aktivitas tambang emas ilegal (PETI) di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat, semakin menggila. Puluhan excavator siang-malam bebas menggerus perbukitan hingga kawasan hutan, tanpa pengawasan berarti.
Potret lapangan yang beredar di media sosial pada Kamis (11/9/2025) memperlihatkan alat berat bekerja di berbagai titik. Warga yang kian resah pun kembali meluapkan jeritan mereka.
βWahai pemerintah, wakil rakyat di tongah ini. Kami rakyat di bawah sangat tertindas oleh orang-orang yang mempunyai alat berat. Habis lahan kami, berikanlah keadilan. Sudah kami coba melarang, mereka berhenti sebentar. Begitu kami pergi, mereka kerja lagi. Tolonglah, apa yang harus kami lakukan, wahai pemerintah,β tulis seorang warga dalam unggahan yang viral.
Meski razia berulang kali digelar, hasilnya nihil. Informasi operasi kerap bocor, aparat hanya menemukan bekas galian. Alat berat dan penambang sudah lebih dulu kabur.
Tak lama setelah aparat pergi, aktivitas PETI kembali normal. Publik menuding penegakan hukum cuma menyentuh pemain kecil, sementara aktor besar kebal hukum.
Pantauan awak media pada 9 September 2025 mendapati puluhan excavator bekerja di Muaro Sangir, Nagari Lubuk Ulang Aling, hingga Kecamatan Sangir Batanghari. Semua titik itu berada di sepanjang aliran Sungai Batanghari, sungai terpanjang di Sumatera yang menjadi sumber kehidupan jutaan orang.
Kini air Sungai Batanghari keruh dan tercemar. Aktivitas PETI bahkan diduga memakai merkuri, zat beracun yang bisa merusak saraf, paru-paru, ginjal, hingga sistem kekebalan tubuh manusia.
Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi sebelumnya menegaskan akan memberantas PETI. Namun fakta di lapangan justru sebaliknya.
Publik menduga adanya βuang payungβ dari para penambang besar yang membuat PETI kebal hukum.
βSeolah ada anak kandung dan anak tiri. Hukum tidak ditegakkan merata,β sindir seorang tokoh masyarakat.
Tak cukup merusak alam, PETI juga menyeret masalah energi. Solar bersubsidi yang seharusnya untuk rakyat justru dihabiskan untuk menghidupi excavator. Dugaan keterlibatan mafia distribusi BBM makin menguat.
PETI di Solok Selatan terbukti menabrak berbagai regulasi :
– UU Minerba No. 3/2020 Pasal 158 : 5 tahun penjara + denda Rp100 miliar.
– UU LH No. 32/2009 Pasal 98 (1) : 3β10 tahun penjara + denda Rp3β10 miliar.
– UU Kehutanan No. 41/1999 Pasal 50 & 78 : 10 tahun penjara + denda Rp5 miliar.
– PP No. 21/2021 tentang Penataan Ruang : Melarang perubahan fungsi ruang tanpa izin.
Prof. Dr. KH. Sutan Nasomal, S.Pd.I, SE, SH, MH, LLB, LLM, Ph.D, menilai PETI di Solok Selatan adalah bukti nyata lemahnya negara di hadapan mafia tambang.
βIni bukan sekadar soal ekonomi ilegal, ini perlawanan terhadap Negara. Sungai, hutan, dan masyarakat jadi korban. Aparat harus menyentuh aktor utama, bukan sekadar formalitas. Kalau negara kalah di sini, wibawa hukum runtuh total,β tegas Prof. Sutan.
Desakan publik kian keras : pemerintah dan aparat jangan lagi main sandiwara. Jika tidak, bukan hanya ekologi yang hancur, tapi wibawa hukum pun terkubur bersama kerakusan tambang ilegal.
π Bukti visual excavator di lokasi tambang sudah beredar luas. Publik kini menunggu, berani tegas atau ikut membiarkan rakyat jadi korban?
*Redaksi*