Privatisasi Kawasan Gurindam 12 Tanjungpinang Picu Penolakan, Tokoh Masyarakat Minta Pemprov Kepri Tinjau Ulang

IMG 20250920 WA0050

TANJUNGPINANG | Go Indonesia.id— Rencana Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Pemprov Kepri) untuk melelang pengelolaan kawasan ruang publik Gurindam 12 di Tepi Laut, Tanjungpinang, menuai penolakan dari berbagai kalangan masyarakat. Salah satu yang paling vokal menyuarakan kritik adalah Ketua Amanah Anak Negeri Kepri, Hajarullah Aswat.

Dalam keterangannya kepada media pada 18 September 2025, Hajarullah meminta Pemprov Kepri untuk meninjau ulang rencana privatisasi kawasan tersebut. Ia menilai, proses tersebut dilakukan tanpa sosialisasi yang memadai dan berisiko mengorbankan hak akses publik terhadap ruang terbuka yang selama ini dinikmati masyarakat luas.

Bacaan Lainnya

Advertisement

> “Ini bukan hanya soal pengelolaan, tetapi soal etika pemerintahan dan kepentingan publik. Masyarakat Kota Tanjungpinang sama sekali tidak dilibatkan dalam proses perencanaan, apalagi konsultasi,” tegas Hajarullah melalui pesan WhatsApp kepada Kupas Online.

Ruang Publik Bukan Komoditas Komersial

Menurut Hajarullah, kawasan Gurindam 12 adalah simbol dan ruang publik strategis yang selama ini menjadi tempat interaksi sosial, budaya, hingga aktivitas ekonomi masyarakat. Privatisasi kawasan ini, katanya, bisa berujung pada pembatasan akses publik dan komersialisasi yang mengabaikan nilai-nilai kebermanfaatan sosial.

Ia juga menekankan bahwa pengelolaan kawasan publik seharusnya melibatkan pemangku kepentingan utama, yaitu masyarakat dan pemerintah kota setempat, bukan sepenuhnya dikuasai atau diserahkan kepada pihak ketiga melalui lelang.

> “Jika akhirnya dikelola swasta, lalu untuk apa selama ini dibangun dengan dana APBN dan APBD? Ini uang rakyat, bukan proyek swasta sejak awal,” ujarnya.

Desakan Serahkan Pengelolaan ke Pemkot Tanjungpinang

Lebih lanjut, tokoh masyarakat ini mendesak agar pengelolaan Gurindam 12 diserahkan kepada Pemerintah Kota Tanjungpinang, misalnya melalui BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) kota. Ia menilai pemerintah kota lebih mengetahui kebutuhan masyarakat lokal serta dapat menjamin pengelolaan yang berpihak pada kepentingan umum.

Hajarullah mempertanyakan urgensi campur tangan pemerintah provinsi dalam pengelolaan kawasan tersebut, yang menurutnya bisa ditangani langsung oleh Pemkot Tanjungpinang.

> “Pemerintah provinsi seharusnya mengurus hal-hal yang bersifat lintas kabupaten/kota. Kalau ruang publik kota saja diambil alih, lalu kapasitas pemerintah kota untuk apa? Jangan sampai ini jadi preseden buruk soal kewenangan,” kritiknya.

Khawatir Jadi Bola Liar di Tengah Masyarakat

Hajarullah juga mengingatkan agar isu ini tidak dibiarkan menjadi “bola liar” yang menimbulkan konflik horizontal di tengah masyarakat. Ia menyebut, transparansi dan partisipasi publik adalah hal mutlak dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut ruang publik strategis.

Ia mengajak seluruh elemen masyarakat, termasuk DPRD, aktivis lingkungan, tokoh adat, dan tokoh pemuda untuk mengawal isu ini secara serius agar tidak merugikan hak-hak publik.

> “Kami tidak ingin konflik horizontal terjadi hanya karena pemerintah abai terhadap suara rakyat. Segera tinjau ulang dan libatkan masyarakat!” pungkasnya.

Latar Belakang: Proyek Strategis dan Anggaran Besar

Kawasan Gurindam 12 merupakan proyek pembangunan infrastruktur tepi laut yang dikenal strategis dan telah menelan anggaran besar, baik dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sejak awal, kawasan ini dirancang sebagai ruang terbuka publik yang terintegrasi dengan aktivitas pariwisata, sosial, dan budaya di Kota Tanjungpinang.

Namun, dengan adanya rencana lelang pengelolaan oleh pemerintah provinsi kepada pihak ketiga, publik mulai mempertanyakan arah dan tujuan dari proyek tersebut.

Reporter: Edy
Editor: Go Indonesia


Advertisement

Pos terkait