Ketika Ijazah Kesetaraan Jadi Tiket Kepemimpinan: Refleksi Serius atas Masa Depan Pendidikan dan Politik Kita

IMG 20251010 WA0007

TANJUNGPINANG | Go Indonesia.id– Munculnya seorang kepala daerah yang diketahui hanya mengantongi ijazah Paket A, B, dan C memicu keprihatinan mendalam dari berbagai kalangan, termasuk dari Ketua Umum CINDAI Provinsi Kepulauan Riau, Edi Susanto yang akrab disapa Edi Cindai. (10/10/25).

Meski sah secara hukum, fenomena ini memunculkan tanda tanya besar: ke mana arah bangsa ini melangkah dalam menempatkan nilai pendidikan dan kualitas kepemimpinan?

Bacaan Lainnya

Advertisement

“Ini sah secara administratif, karena negara mengakui kesetaraan pendidikan. Tapi dari sisi moral dan sosial, ini memberi pesan keliru: seolah-olah pendidikan tinggi tak lagi penting untuk memimpin,” ujar Edi dalam pernyataan resminya.

Pendidikan: Bukan Sekadar Syarat, Tapi Fondasi Kepemimpinan

Menurut Edi, pendidikan bukan hanya soal ijazah, tapi merupakan proses membentuk karakter, logika berpikir, dan integritas seorang calon pemimpin. Ketika seorang kepala daerah—yang bertanggung jawab atas kebijakan publik dan pengelolaan anggaran tidak memiliki latar belakang pendidikan yang memadai, risiko kesalahan kebijakan hingga manipulasi politik pun membayangi.

“Pemimpin yang tak dibekali pendidikan kuat rentan dijadikan alat oleh kepentingan politik atau ekonomi tertentu,” tegasnya.

Kegagalan Sistem Politik Menyeleksi Pemimpin

CINDAI Kepri menyoroti bahwa lemahnya standar kepemimpinan ini tidak terlepas dari sistem rekrutmen politik yang lebih mementingkan popularitas dan kekuatan finansial ketimbang kapasitas intelektual.

Partai politik dinilai belum optimal menjalankan peran sebagai penjaga kualitas kepemimpinan.

“Jika seleksi hanya berdasarkan elektabilitas, maka jangan heran bila pemimpin kita bukan teladan, melainkan sekadar tokoh populer,” kata Edi.

Dampaknya ke Generasi Muda: Pendidikan Tak Lagi Jadi Prioritas?

Lebih jauh, fenomena ini dikhawatirkan akan menurunkan semangat generasi muda untuk menempuh pendidikan tinggi.

Ketika mereka melihat pejabat publik bisa lahir dari jalur instan tanpa proses panjang dan mendalam, maka makna belajar dan berjuang bisa terkikis.

“Bagaimana kita bisa membangun Generasi Emas 2045 kalau pendidikan dianggap hanya formalitas?” ujarnya.

Rekomendasi CINDAI Kepri: Saatnya Reformasi Kepemimpinan Dimulai

CINDAI Kepri mendorong sejumlah langkah konkret:

1. Regulasi Diperkuat: Pemerintah dan DPR RI perlu meninjau ulang aturan pencalonan kepala daerah, dengan memasukkan indikator kompetensi akademik dan manajerial.

2. Partai Politik Bertanggung Jawab: Penjaringan calon pemimpin harus berbasis integritas dan kemampuan, bukan hanya kekuatan modal.

3. Masyarakat Sipil Bersatu: Akademisi, media, dan masyarakat umum perlu berperan aktif mengawal kualitas kepemimpinan di semua lini.

Pendidikan Kesetaraan Penting, Tapi Bukan Jalan Pintas Menuju Kekuasaan

CINDAI Kepri menegaskan bahwa pihaknya tidak meremehkan jalur pendidikan nonformal.

Namun, ketika ijazah kesetaraan hanya dijadikan syarat administratif demi meraih jabatan, tanpa proses pembelajaran dan penguatan kapasitas, maka hal itu mencederai nilai luhur pendidikan itu sendiri.

“Pemimpin seharusnya menjadi inspirasi. Bukan hanya memiliki ijazah, tapi juga menunjukkan semangat belajar, integritas, dan pemahaman terhadap tugasnya sebagai abdi rakyat,” tutup Edi Cindai.

Reporter : Edy/red


Advertisement

Pos terkait