Prof. Dr. Sutan Nasomal Desak Presiden Turun Tangan Usut Reklamasi Ilegal di Bangkep: “Jangan Lindungi Perampas Laut!”

IMG 20251013 WA0141

JAKARTA | Go Indonesia.id_Kasus dugaan reklamasi ilegal di samping Pelabuhan Lumbi-Lumbia, Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, memicu gelombang reaksi keras dari kalangan akademisi, aktivis lingkungan, dan tokoh nasional. Salah satunya datang dari Prof. Dr. Sutan Nasomal, S.H., M.H., pakar hukum internasional sekaligus Presiden Partai Oposisi Merdeka, yang mengecam keras langkah Polres Bangkep melimpahkan kasus tersebut ke ranah sanksi administratif di Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sulteng.

Langkah tersebut dianggap sebagai bentuk pengaburan hukum yang dapat melegalkan perampasan aset negara berupa lahan laut, serta membuka ruang suap dan penyalahgunaan kekuasaan.

Bacaan Lainnya

Advertisement

> “Kasus ini sangat serius. Reklamasi ilegal, tanpa izin, dan berada di zona konservasi. Ini pidana berat, bukan sekadar pelanggaran administratif. Presiden harus segera memerintahkan Jaksa Agung, Ketua MA, dan Kapolri untuk menyidik secara transparan dan menghukum pelaku seberat-beratnya,” tegas Prof. Sutan dalam pernyataan tertulis yang diterima redaksi.

Pelimpahan Kasus ke DKP Dinilai Melemahkan Penegakan Hukum

Pada Kamis, 19 Juni 2025, penyidikan kasus yang melibatkan inisial IT, pemilik reklamasi ilegal di sisi Pelabuhan Lumbi-Lumbia, resmi dilimpahkan dari Polres Bangkep ke DKP Sulteng. DKP lantas menjatuhkan sanksi administratif berupa denda dan perintah penghentian kegiatan.

Namun langkah ini dianggap melemahkan komitmen penegakan hukum lingkungan dan menyalahi ketentuan pidana yang berlaku.

> “Sanksi administratif itu tak ada artinya jika laut sudah dirusak dan dijadikan aset pribadi. Apakah negara mau diam melihat laut dikuasai oknum tanpa izin?” kata Prof. Sutan, menyebut dampak reklamasi sudah merusak ekosistem pesisir dan kawasan konservasi.

UU Jelas: Reklamasi Ilegal Adalah Tindak Pidana

Berdasarkan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K), reklamasi tanpa izin, apalagi di zona konservasi, adalah tindak pidana serius.

Sanksi pidana yang dapat dikenakan:

Penjara hingga 4 tahun dan denda Rp 2 miliar (untuk reklamasi tanpa izin)

Tambahan jerat pidana berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH)
→ Penjara 1–3 tahun dan denda hingga Rp 3 miliar

Tiga Tuntutan Prof. Sutan Nasomal kepada Pemerintah Pusat

Prof. Sutan mendesak agar Presiden Jokowi turun tangan langsung menangani kasus ini. Ia menyampaikan tiga tuntutan utama:

1. Batalkan Pelimpahan Kasus ke Administratif
→ Tarik kembali berkas dari DKP dan lanjutkan penyidikan pidana oleh Polres atau limpahkan ke Kejaksaan Agung.

2. Audit Dampak Keamanan Pelabuhan Lumbi-Lumbia
→ Usut dampak reklamasi terhadap operasional pelabuhan nasional dan potensi ancaman terhadap keselamatan pelayaran.

3. Bongkar Jaringan Perlindungan Oknum IT
→ Selidiki pejabat di Bangkep yang disebut-sebut sebagai ‘pelindung’ IT, untuk memulihkan wibawa hukum dari intervensi kepentingan pribadi.

Kecurigaan Suap dan ‘Imunitas’ Pelaku

Masyarakat sipil dan aktivis lokal menduga, pelimpahan kasus ke jalur administratif tidak lepas dari isu suap dan perlindungan elit daerah. Diketahui, lokasi reklamasi berada tepat di samping pelabuhan negara, namun bisa berjalan mulus tanpa izin resmi.

> “Keberanian pelaku hanya mungkin terjadi jika ada backing kuat. Negara tidak boleh kalah dengan mafia laut. Ini ancaman bagi kedaulatan ruang laut Indonesia,” tegas Prof. Sutan.

Ujian Integritas Penegak Hukum

Kasus ini menjadi sorotan nasional dan ujian integritas bagi penegak hukum di daerah. Masyarakat meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turut mengawasi proses penyidikan agar tidak berakhir kompromistis.

“Kami menunggu langkah tegas Presiden. Jangan sampai negara justru melegalkan perampasan laut oleh oknum berduit. Hukum harus berpihak pada ekosistem, bukan pada pengusaha ilegal,” tutup Prof. Sutan.

Redaksi


Advertisement

Pos terkait