Reporter : Rinaldy
TANJAB BARAT | Go Indonesia.Id β Satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto ternyata belum membawa angin keadilan bagi petani. Senin, 20 Oktober 2025, ratusan petani Desa Purwodadi, Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, kembali merebut dan menduduki lahan seluas 586 hektare yang sejak hampir tiga dekade dirampas dan diklaim sepihak oleh PT. Tri Mitra Lestari (TML).
Aksi pendudukan ini dipimpin langsung oleh Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPC GMNI) Jambi bersama Kelompok Tani Mandiri (KT Mandiri). Mereka menegaskan bahwa kesabaran rakyat telah habis menghadapi pemerintah daerah yang dianggap hanya berpihak pada korporasi dan mengabaikan penderitaan rakyat.
βSudah empat kali kami mendampingi petani memperjuangkan haknya, tapi yang diberikan Pemkab hanya janji-janji kosong. Pemerintah daerah gagal total menuntaskan konflik agraria ini,β tegas Ludwig, Ketua DPC GMNI Jambi di tengah orasi membara di lokasi aksi.
Menurut Ludwig, tepat di hari peringatan satu tahun pemerintahan Prabowo, petani justru harus kembali turun ke tanah karena negara absen membela rakyat kecil.
βJanji keadilan hanya tinggal kata-kata. Di bawah pemerintahan yang katanya pro-petani, tanah rakyat justru terus dikuasai perusahaan. Ini bentuk nyata kegagalan negara hadir di tengah rakyat,β ujarnya keras.
Dalam aksi tersebut, para petani dan mahasiswa tidak hanya berorasi, tapi juga membangun mushola di atas tanah sengketa. Langkah ini menjadi simbol bahwa perjuangan mereka bukan sekadar soal perut dan lahan, tapi juga martabat dan spiritualitas manusia.
βMushola ini bukti bahwa perjuangan kami suci. Tanah ini bukan hanya tempat bertani, tapi tempat kami membangun kehidupan yang bermartabat,β ungkap Wiranto, Koordinator Lapangan aksi.
GMNI dan KT Mandiri menuntut Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Barat segera menyerahkan penyelesaian konflik ini ke Pemerintah Provinsi Jambi, jika memang tak sanggup memberikan solusi nyata. Mereka menilai Pemkab terlalu lemah, pasif, dan takut berhadapan dengan kepentingan perusahaan besar.
Secara hukum, tuntutan petani memiliki dasar yang kokoh.
Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 menegaskan : βBumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.β
Selain itu, Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menegaskan bahwa semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial. Dengan demikian, penguasaan lahan oleh perusahaan yang menyingkirkan masyarakat sekitar adalah pelanggaran terhadap konstitusi.
Konflik antara KT Mandiri dan PT. Tri Mitra Lestari sudah berlangsung hampir 30 tahun. Berbagai bentuk mediasi yang digelar pemerintah daerah selalu berakhir buntu. Tidak ada keberanian politik dari Pemkab untuk berpihak pada petani, sementara perusahaan terus mengeruk keuntungan di atas penderitaan rakyat.
Kini, pendudukan kembali lahan ini menjadi titik balik perlawanan rakyat terhadap ketimpangan agraria di Tanjung Jabung Barat. Petani menegaskan bahwa jika negara terus diam, rakyat akan bertindak.
βKalau pemerintah terus bersembunyi di balik meja, rakyat sendiri yang akan mengambil kembali haknya. Ini tanah rakyat, bukan tanah korporasi,β
tutup Ludwig dengan suara lantang, disambut sorak dukungan para petani.(*)
Redaksi