Uji UU Polri Ditolak, Ketentuan Masa Jabatan Kapolri Tidak Berubah

IMG 20251113 WA0114

JAKARTA | Go Indonesia.id_ Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Perkara Nomor 147/PUU-XXIII/2025 mengenai pengujian Pasal 11 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri). Para Pemohon memohon agar usul pengangkatan dan pemberhentian Kepala Polri (Kapolri) diajukan oleh Presiden kepada DPR diserta dengan alasan yang sah, antara lain berakhirnya masa jabatan Kapolri selama lima tahun untuk menjamin profesionalisme dan stabilitas kelembagaan Polri.

Namun, Mahkamah belum berubah pendirian dari pertimbangan hukum dalam permohonan sebelumnya atas pengujian materiil pasal dan undang-undang yang sama, yang juga diucapkan di hari yang sama. “Hingga saat ini Mahkamah belum memiliki alasan hukum yang kuat dan mendasar untuk bergeser dari pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-XXIII/2025, maka pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-XXIII/2025 mutatis mutandis berlaku pula dalam mempertimbangkan dalil permohonan a quo,” ujar Hakim Konstitusi Arsul Sani pada Kamis (13/11/2025) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.

Bacaan Lainnya

Advertisement

Advertisement

Dalam pertimbangan hukum Putusan dimaksud, menurut Mahkamah, jabatan Kapolri adalah jabatan karier profesional yang memiliki batas masa jabatan tetapi tidak ditentukan secara periodik dan tidak secara otomatis berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan presiden. Artinya, jabatan Kapolri memiliki batas waktu dan dapat diberhentikan sewaktu-waktu berdasarkan evaluasi presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Arsul mengatakan tidak dicantumkannya frasa “setingkat menteri” dalam UU 2/2002, menurut Mahkamah, pembentuk undang-undang telah memaknai penempatan posisi Polri dalam sistem ketatanegaraan sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Dengan memberi label “setingkat menteri”, kepentingan politik presiden akan dominan menentukan seorang Kapolri.

Sementara, secara konstitusional, Pasal 30 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 secara expressis verbis (cetho welo-welo) menyatakan Polri sebagai alat negara. Sebagai alat negara, Polri harus mampu menempatkan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat serta penegakan hukum di atas kepentingan semua golongan termasuk di atas kepentingan presiden.

“Artinya, dengan memosisikan jabatan Kapolri menjadi setingkat menteri, Kapolri secara otomatis menjadi anggota kabinet, jelas berpotensi mereduksi posisi Polri sebagai alat negara,” kata Arsul.

Sebagai informasi, Pasal 11 ayat (2) UU Polri berbunyi, “Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai dengan alasannya.” Sementara Penjelasan Pasal 11 ayat (2) UU Polri menyebutkan, “Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia terhadap usul pemberhentian dan pengangkatan Kapolri dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat. Usul pemberhentian Kapolri disampaikan oleh Presiden dengan disertai alasan yang sah, antara lain masa jabatan Kapolri yang bersangkutan telah berakhir, atas permintaan sendiri, memasuki usia pensiun, berhalangan tetap, dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat menolak usul pemberhentian Kapolri, maka Presiden menarik kembali usulannya, dan dapat mengajukan kembali permintaan persetujuan pemberhentian Kapolri pada masa persidangan berikutnya.”

Permohonan Perkara Nomor 147/PUU-XXIII/2025 ini diajukan karyawan swasta Cindy Allyssa dan Advokat Syamsul Jahidin yang mengatakan ketentuan masa jabatan Kapolri tidak pasti sehingga perlu adanya pembatasan masa jabatan. Pembatasan diperlukan demi pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum.

Menurut para Pemohon, kekuasaan yang terlalu lama di tangan satu orang rawan menciptakan kultus individu dan menurunkan profesionalitas Polri. Pembatasan jabatan sejalan dengan pertimbangan moral dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dari sisi keamanan dan ketertiban umum, rotasi kepemimpinan Polri diperlukan untuk menjaga kepercayaan publik dan mencegah abuse of power.

Hal tersebut juga sejalan dengan konsistensi dengan praktik pembatasan jabatan lain seperti Presiden, Kepala Daerah, dan bahkan Panglima TNI yang dibatasi masa jabatannya. Jika Kapolri tidak dibatasi, maka timbul ketidakseimbangan dan diskriminasi antar pejabat tinggi negara.

Dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 11 ayat (2) UU Polri bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai dengan alasan yang sah; a. Berakhirnya masa jabatan Kapolri selama 5 (lima) Tahun. b. diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat; c. permintaan sendiri; d. memasuki usia pensiun; e. berhalangan tetap; f. dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.” Serta menyatakan Penjelasan Pasal 11 ayat (2) UU Polri bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.(*)

Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina


Advertisement

Pos terkait