Sekber Ormas, LSM & OKP Soroti Legalitas Material dan Transparansi Lelang Kampung Nelayan Merah Putih di Banyuwangi

IMG 20251117 WA0014

BANYUWANGI | Go Indonesia.id_ Proyek ambisius Kampung Nelayan Merah Putih, sebuah inisiatif pembangunan yang menelan anggaran fantastis sebesar Rp10.470.541.000 di Kelurahan Lateng, Banyuwangi, kini berada dalam pusaran kontroversi.

Sekretariat Bersama (Sekber), sebuah aliansi yang terdiri dari berbagai organisasi masyarakat (Ormas), lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan organisasi kepemudaan (OKP) di Banyuwangi, secara lantang menyuarakan keprihatinan mendalam terkait dugaan praktik-praktik yang menyimpang dalam proyek ini.

Bacaan Lainnya

Advertisement

Advertisement

Sorotan tajam Sekber Ormas, LSM & OKP tertuju pada dua aspek krusial: legalitas material yang digunakan dalam pembangunan serta transparansi proses lelang yang dianggap janggal dan mencurigakan.

Proyek yang digadang-gadang sebagai ikon baru bagi komunitas nelayan di Banyuwangi ini, secara resmi dimulai pada tanggal 3 September 2025, dengan mengantongi nomor kontrak B.8466/PBJ.4.1/PL.430.IX/2025. Pendanaan proyek sepenuhnya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2025, sebuah bukti komitmen pemerintah pusat dalam mendukung pembangunan sektor kelautan dan perikanan di daerah. Dalam pelaksanaannya, PT. Rukun Jaya Madura Grub ditunjuk sebagai kontraktor utama yang bertanggung jawab atas konstruksi fisik, sementara CV. Yusata Technila bertindak sebagai konsultan pengawas yang bertugas memastikan kualitas pekerjaan sesuai dengan standar yang ditetapkan.

Namun, di balik gemerlapnya proyek mercusuar ini, tersimpan sejumlah persoalan serius yang mengusik rasa keadilan dan kepercayaan masyarakat. Muhammad Helmi Rosyadi mewakili aktivis dan masyarakat sipil menyampaikan protes keras terkait dugaan penggunaan material ilegal yang berasal dari tambang tanpa izin yang sah dalam proyek Kampung Nelayan Merah Putih. Menurutnya, praktik ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga merugikan negara dan merusak lingkungan. Proyek ini sendiri merupakan inisiatif dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang kemudian dieksekusi oleh PT Rukun Jaya Madura Group.

Sekber, yang mewakili suara masyarakat sipil Banyuwangi, dengan tegas mendesak aparat penegak hukum (APH) untuk bertindak cepat dan tanpa pandang bulu terhadap kontraktor yang diduga terlibat dalam praktik penggunaan material ilegal (galian C). Mereka menekankan bahwa setiap proyek yang didanai oleh uang rakyat, baik melalui APBN maupun APBD, wajib menggunakan material galian C yang berasal dari tambang yang legal dan memiliki izin resmi dari pemerintah. Penggunaan material ilegal tidak hanya mencerminkan ketidakpatuhan terhadap hukum, tetapi juga berpotensi membahayakan kualitas dan keberlanjutan proyek dalam jangka panjang.

Selain masalah legalitas material, Sekber juga menyoroti kurangnya transparansi dalam proses pelelangan proyek Kampung Nelayan Merah Putih. Ketiadaan nomor verifikasi pemenang tender pada papan proyek menimbulkan tanda tanya besar di kalangan masyarakat. Kejanggalan lain yang menjadi sorotan adalah penunjukan CV sebagai konsultan perencanaan untuk proyek dengan nilai investasi lebih dari sepuluh miliar rupiah. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai kompetensi, pengalaman, dan kredibilitas konsultan perencanaan yang dipilih.

Aturan lelang proyek melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) sebenarnya bertujuan untuk meningkatkan transparansi, efisiensi, serta menciptakan persaingan usaha yang sehat dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. LPSE memfasilitasi seluruh proses tender secara online, mulai dari pengumuman, pendaftaran, hingga pemilihan pemenang, sehingga meminimalisir pertemuan tatap muka antara pengusaha dan pihak pemerintah. Masyarakat umum juga memiliki hak untuk mengontrol dan mengawasi proses pengadaan yang sedang berjalan.

Namun, dalam kasus proyek Kampung Nelayan Merah Putih, implementasi LPSE tampaknya belum berjalan optimal. Dalam papan nama proyek tertulis nomor kontrak B.8466/PBJ.4.1/PL.430.IX/2025, yang mengindikasikan bahwa proyek dengan nilai di atas sepuluh miliar rupiah ini termasuk dalam kategori proyek PL (Penunjukan Langsung). Fakta bahwa PT. Rukun Jaya Madura Grub, pemenang proyek bukan pribumi, semakin menambah aroma nepotisme dan konflik kepentingan dalam proyek ini. Hal ini memunculkan pertanyaan lebih lanjut mengenai proses seleksi dan kualifikasi yang diterapkan, serta potensi adanya praktik kolusi dan korupsi yang merugikan keuangan negara.

Proyek Kampung Nelayan Merah Putih seharusnya menjadi kebanggaan masyarakat Banyuwangi, kini justru menjadi sumber kekecewaan dan kemarahan. Sekber dan masyarakat sipil Banyuwangi menuntut adanya audit yang transparan dan akuntabel terhadap semua dugaan penyimpangan dalam proyek ini. Mereka berharap aparat penegak hukum dapat bertindak tegas dan tanpa kompromi untuk mengungkap kebenaran, menindak pelaku pelanggaran hukum, serta memastikan bahwa proyek ini dapat diselesaikan dengan baik dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat nelayan di Banyuwangi.

Redaksi


Advertisement

Pos terkait