Reporter : Diki Candra
BATAM | Go Indonesia.Id – Peringatan Hari Guru Nasional setiap 25 November kembali membuka refleksi panjang tentang nasib para pendidik di negeri ini. Di balik seremoni dan ucapan terima kasih, muncul pertanyaan besar yang terus menggema: sudahkah guru Indonesia benar-benar hidup sejahtera dan bermartabat?
Dalam dua dekade terakhir, pemerintah telah menghadirkan berbagai reformasi, mulai dari Pendidikan Profesi Guru (PPG) hingga program ASN-PPPK dan PPPK Paruh Waktu. (26/11/25).
PPG menjadi tonggak penting yang menegaskan bahwa guru adalah profesi, bukan sekadar pekerjaan. Standar kompetensi diperkuat, kode etik diperjelas, dan tunjangan profesi menjadi wujud penghargaan negara.
Banyak guru yang kini merasakan peningkatan kesejahteraan dari kebijakan ini.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan kondisi yang tidak seragam. Ribuan guru, terutama di sekolah swasta, justru tertinggal di pinggir jalan reformasi. Mereka terganjal syarat administratif, linearitas ijazah, atau batas usia ketika hendak mengikuti PPG. Dedikasi mereka tak berbanding lurus dengan kesejahteraan yang diterima.
Sebagian besar guru swasta tetap mengabdi tanpa tunjangan profesi, bertahan dengan gaji yang jauh di bawah standar layak. Kondisi ini menciptakan jurang yang semakin lebar antara guru negeri dan guru swasta.
Disatu sisi, sekolah negeri menikmati fasilitas dan kepastian karier yang lebih baik. Di sisi lain, banyak sekolah swasta hidup dari idealisme, bertahan dengan dana minim, dan menggantungkan keberlangsungan pada hati nurani para pendidik.
Program pengangkatan guru honorer menjadi ASN-PPPK dan PPPK Paruh Waktu juga menunjukkan dua sisi. Guru yang lolos menikmati peningkatan kesejahteraan dan kepastian karier.
Namun bagi banyak sekolah swasta, kebijakan ini menghadirkan dampak domino: guru-guru terbaik mereka pindah ke sekolah negeri, meninggalkan kekosongan tenaga pengajar yang sulit digantikan.
Sementara guru yang tidak berhasil lolos seleksi semakin terjepit antara naiknya biaya hidup dan minimnya dukungan institusi.
Selain tantangan kesejahteraan, persoalan moral juga menghantui dunia pendidikan. Di tengah derasnya arus digitalisasi, wibawa guru kian tergerus.
Banyak guru kini takut menegur murid karena khawatir dilaporkan, bahkan dijerat hukum akibat salah persepsi. Proses pembentukan karakter yang seharusnya lahir dari kewibawaan moral justru terganggu oleh ketidakpastian perlindungan hukum.
Padahal, pendidikan tidak hanya berurusan dengan materi pelajaran, tetapi juga dengan pembentukan karakter dan disiplin sesuatu yang tidak dapat hadir tanpa relasi saling percaya antara guru dan murid.
Reformasi pendidikan memang berjalan, namun belum menyentuh semua lapisan secara adil dan menyeluruh. PPG, tunjangan profesi, hingga seleksi ASN-PPPK sejatinya merupakan kebijakan besar, tetapi implementasi di lapangan belum mampu menata ekosistem dunia pendidikan secara utuh.
Persoalan usia, administrasi, dan status kelembagaan tidak seharusnya menjadi penghalang bagi guru-guru yang telah puluhan tahun mengabdi demi masa depan anak bangsa.
Diperlukan kebijakan yang lebih inklusif, lebih manusiawi, dan lebih memprioritaskan keadilan lintas sekolah baik negeri maupun swasta.
Pada akhirnya, kesejahteraan guru bukan sekadar isu personal, melainkan pondasi utama masa depan bangsa. Guru yang sejahtera akan mengajar dengan cinta.
Guru yang dihargai akan membentuk nilai-nilai kejujuran, adab, dan kemanusiaan.
Peringatan Hari Guru bukan hanya perayaan. Ia adalah alarm moral bahwa masa depan pendidikan tidak hanya ditentukan oleh kebijakan, tetapi oleh keberanian negara memastikan semua guru di kota maupun pelosok hidup dengan layak, terlindungi, dan dihormati.
Karena di tangan merekalah, masa depan Indonesia digenggam.
REDAKSI







