Sebuah Potret Turunnya Kesejahteraan di Daerah Strategis Negara
NATUNA | Go Indonesia.id — Di peta politik dan pertahanan nasional, Natuna selalu diperkenalkan sebagai mutiara di ujung utara Nusantara.(4/12/25).
Namun ketika menelusuri kehidupan masyarakat di lapangan, kemilau yang sering dijual dalam pidato itu kini hampir tak terlihat. Yang tersisa adalah keluhan, kelelahan, dan serangkaian kebijakan yang tak kunjung berpihak pada warga.
BBM Langka, Nelayan Menjerit
Di pesisir, para nelayan menghadapi kenyataan pahit: mereka tidak bisa lagi melaut sesuka jadwal dan kebutuhan. Ketersediaan BBM yang tidak menentu membuat aktivitas penangkapan ikan bergantung pada keberuntungan. Ketika pasokan habis, perahu terparkir, pendapatan hilang, keluarga ikut limbung.
“Kadang dapat jatah, kadang tidak. Kalau solar habis, ya sudah: hari itu seperti hari libur yang tidak diinginkan,” ujar seorang nelayan tua yang ditemui Tempo.
Petani dan Pedagang Terhimpit Ekonomi yang Melemah
Di sektor darat, kondisi tidak lebih baik. Petani mengeluhkan hasil panen yang sulit dijual karena pasar sepi dan rantai distribusi stagnan. Biaya pupuk naik, ongkos tanam tak terkendali, sementara harga jual tetap rendah.
Para pedagang pun menanggung imbas yang sama. Daya beli masyarakat merosot, sementara harga kebutuhan pokok bergerak naik tanpa penjelasan yang jelas. Banyak toko kecil memilih menutup lebih cepat, sekadar menghemat listrik.
Birokrat pun Tidak Luput dari Tekanan
Dalam struktur administrasi, para pegawai negeri sipil yang sering dianggap “lebih aman” justru mengeluh pelan-pelan. Tunjangan yang tidak pasti, beban kerja yang kian berat, serta arah kebijakan yang berubah tanpa transisi membuat mereka bekerja dalam ketidakjelasan.
Seorang ASN muda yang ditemui mengakui, “Kebijakan sekarang cepat berubah, tapi tidak disosialisasikan dengan baik. Tidak ada kepastian.”
Pekerja Material Hidup dalam Ketakutan Regulasi
Sementara pekerja batu, pasir, dan sektor material bangunan menghadapi masalah lain: regulasi yang berubah-ubah. Banyak dari mereka bekerja dengan perasaan was-was—khawatir tiba-tiba dianggap melanggar aturan yang belum dipahami.
Bagi kelompok ini, sekadar mencari nafkah kini bisa berbuntut persoalan hukum.
Kesejahteraan yang Mengalir ke Lingkaran Kecil
Di tengah ekonomi yang menurun, ada satu ironi yang mencolok: hanya segelintir orang yang tampak hidup tanpa kesulitan. Mereka yang berada di lingkaran kekuasaan menikmati aliran program dan proyek—dari skema MBG hingga belanja APBD. Sementara masyarakat luas hanya menyaksikan dari jauh, tanpa benar-benar merasakan manfaat program yang sering diumumkan dengan gemuruh.
“Seperti ada dua Natuna,” kata seorang aktivis lokal. “Natuna yang ada di spanduk pemerintah—dan Natuna yang kami tinggali sehari-hari.”
Natuna Butuh Perubahan, Bukan Slogan
Bagi jurnalis lapangan yang mendengar langsung suara warga, krisis ini bukan sekadar angka atau tren. Ia hidup dalam cerita para nelayan yang tak bisa melaut, pedagang yang menutup toko, petani yang rugi panen, hingga pekerja kecil yang gamang menatap masa depan.
Mutiara yang dulu dibanggakan itu sekarang meredup. Pertanyaan yang menggema di lapangan sama: siapa yang benar-benar peduli untuk mengembalikan cahayanya? Dan kapan pemerintah turun bukan hanya dengan slogan, tetapi dengan pembenahan nyata?
Oleh : Bhr ( Koresponden daerah )
Redaksi







