SURABAYA | Go Indonesia.id-Dr. DIDI SUNGKONO, S.H., M.H., menuturkan, “Tidak ada itu aturan RJ (Restorative Justice) berbayar, karena tidak ada dasar hukumnya. RJ diatur oleh PERPOL No. 08 Tahun 2021. Justru negara akan terkurangi bebannya, karena hukum itu problem solving (hukum itu menyelesaikan masalah).
Kalau benar masyarakat diminta membayar hingga 100 juta, ini yang kelihatan janggal dan aneh. Anda sebagai wartawan harus ungkap tuntas, di mana letak benang kusutnya. Para penegak hukum ini harus jujur, transparan, bernurani. Penegak hukum kalau tidak bermoral akan merusak tatanan hukum. Profesi mulia akan ‘ternodai’ jika dilacurkan. Rakyat tidak akan lagi percaya dengan penegak hukum.
Polri sebagai penegak hukum diatur oleh UU No. 02 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Advokat sebagai penegak hukum diatur dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Sebagai penegak hukum, dalam menegakkan hukum harus beradab dan bermartabat,” ujar Didi Sungkono.
Rakyat resah, masyarakat meradang. Di saat situasi sulit seperti ini, ada oknum penegak hukum (Advokat) yang melakukan perbuatan culas, menjual-belikan kewenangan pat gulipat untuk mendapatkan kenyamanan. Seorang Advokat, sebagaimana diatur dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, adalah bagian dari penegak hukum yang profesional, profesi mulia (Officium Nobile).
Namun, kelakuan oknum Advokat yang bermental bejat, bermental durjana, merangkap makelar kasus, dan menipu masyarakat dengan bujuk rayu, seolah-olah uang tersebut untuk diserahkan kepada Penyidik Kepolisian.
Pengamat Kepolisian asal Surabaya, Dr. Didi Sungkono, S.H., M.H., saat diminta tanggapan mengatakan, “Kalau benar hal tersebut terjadi, kelakuan oknum Advokat tersebut tidak bisa dibenarkan. Perjual-belikan kewenangan untuk memperdaya masyarakat, kong kalikong, pat gulipat dengan oknum penegak hukum lainnya, karena RJ atau Restorative Justice itu tidak berbayar alias gratis. Ada PERPOL No. 08 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restorative. Ini adalah pedoman bagi kepolisian dalam menyelesaikan perkara secara damai. Ini gratis, tidak ada biaya sama sekali yang dikeluarkan para pihak yang berperkara,” urai Doktor Ilmu Hukum ini.
Perlu Pembaca Ketahui, Dugaan praktik Restorative Justice (RJ) berbayar di lingkungan Polres Nganjuk mencuat ke publik.
Seorang warga bernama Endang Sulastri mengaku telah menyerahkan uang total Rp140 juta kepada seorang advokat bernama Sandi Puguh Irawan, yang disebut-sebut menjanjikan pengurusan RJ saat suaminya masih dalam tahanan penyidik.
Pengakuan tersebut dituangkan Endang dalam surat pernyataan bermaterai yang menyebutkan bahwa penyerahan uang dilakukan pada 27 Agustus 2025 sekitar pukul 02.00 WIB, bertempat di depan Kantor DPC Partai Hanura Kabupaten Nganjuk, bukan di kantor kepolisian.
Menurut Endang, Rp10 juta disebut sebagai jasa advokat, sementara Rp100 juta diklaim akan diserahkan kepada penyidik Polres Nganjuk untuk keperluan gelar perkara RJ. Sebelumnya, ia juga mengaku telah menyerahkan Rp15 juta untuk mediasi dan kompensasi korban, serta Rp15 juta tambahan setelah gelar perkara, sehingga total uang yang keluar mencapai Rp140 juta.
Ironisnya, saat Endang akhirnya datang ke Polres Nganjuk, penyidik justru mengaku bingung dan menyatakan tidak ada gelar perkara sebagaimana yang dijanjikan. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa telah terjadi pencatutan nama institusi kepolisian, bahkan berpotensi mengarah pada penipuan dan/atau pemerasan.
Saya sampai berhutang ke saudara-saudara. Sampai sekarang belum bisa melunasi. Saya hanya ingin kejelasan, apakah benar RJ itu harus bayar ratusan juta,” ungkap Endang dalam pernyataannya.
Penyerahan uang tersebut, kata Endang, disaksikan langsung oleh adiknya, Alvonsius Ivantri Hutasoit. Selain itu, Endang mengklaim memiliki rekaman suara lengkap yang menyebut secara eksplisit bahwa uang tersebut akan diberikan kepada penyidik Polres Nganjuk.
[10.34, 19/12/2025] Redho Fitriyadi SURABAYA: Jika terbukti, praktik ini bertentangan keras dengan prinsip Restorative Justice, yang secara tegas tidak dipungut biaya dan berlandaskan pemulihan, bukan transaksi.
Secara hukum, kasus ini berpotensi melanggar sejumlah ketentuan pidana, antara lain:
Pasal 378 KUHP tentang Penipuan, jika uang diperoleh dengan tipu muslihat atau janji palsu;
Pasal 368 KUHP tentang Pemerasan, jika terdapat unsur tekanan dengan memanfaatkan posisi hukum korban;
Pasal 263 KUHP bila terdapat dugaan pemalsuan atau rekayasa administrasi hukum;
– Pasal 421 KUHP, jika terbukti ada penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat atau atas nama pejabat;
– Pasal 5 atau Pasal 12 huruf e UU Tipikor, jika uang tersebut benar diminta atau diteruskan kepada aparat negara;
– Pasal 55 KUHP, apabila perbuatan dilakukan secara bersama-sama atau bersekongkol.
Selain pidana umum, bila melibatkan advokat, tindakan tersebut juga berpotensi melanggar Kode Etik Advokat Indonesia, yang melarang keras menjanjikan pengurusan perkara melalui jalur uang atau mengatasnamakan aparat penegak hukum.
Endang secara resmi meminta Bidang Profesi dan Pengamanan (Bid Propam) Polda Jawa Timur untuk mengusut tuntas kasus ini, guna memastikan:
1. Apakah benar ada oknum penyidik Polres Nganjuk yang terlibat;
2. Ataukah nama institusi kepolisian dicatut untuk kepentingan pribadi.
Kasus ini menjadi tamparan keras bagi semangat reformasi penegakan hukum, khususnya di tubuh kepolisian. Publik menunggu sikap tegas Polda Jawa Timur untuk membuka kasus ini secara transparan, demi menjaga marwah institusi dan memastikan hukum tidak berubah menjadi komoditas berbayar.
BERSAMBUNG
(Redho)






