Bayi Lahir Tanpa Lubang Anus Dibiarkan 2 Hari, RS. Setia Budi Rimbo Bujang Diduga Lalai Tangani Kasus Fatal

IMG 20251227 WA0020

TEBO | Go Indonesia.id – Dugaan kelalaian medis serius di RS. Setia Budi Unit 2 Rimbo Bujang, Kabupaten Tebo, kian menguat dan berpotensi berujung pidana. Seorang bayi yang lahir melalui operasi sesar pada 24 Desember 2025 baru diketahui mengalami kelainan bawaan berat atresia ani (tidak memiliki lubang anus) setelah dua hari pasca-kelahiran, kondisi medis fatal yang secara standar wajib terdeteksi sejak pemeriksaan awal bayi baru lahir.

Akibat keterlambatan diagnosis tersebut, kondisi bayi memburuk drastis. Perut bayi membesar, membiru, dan mengalami kembung hebat akibat penumpukan feses di dalam tubuh.

Bacaan Lainnya

Advertisement

Advertisement

Ironisnya, tindakan rujukan baru dilakukan setelah keluarga meluapkan protes keras di ruang Unit Gawat Darurat (UGD). Bayi kemudian dirujuk ke RS Moelia Muara Bungo untuk penanganan lanjutan.

Padahal, secara medis, setiap bayi yang lahir melalui operasi sesar wajib menjalani observasi ketat dan pemeriksaan fisik menyeluruh, termasuk pemeriksaan anus, saluran pencernaan, refleks, dan fungsi vital lainnya.

Kegagalan mendeteksi atresia ani dalam kurun waktu 48 jam pertama menjadi sorotan tajam dan memunculkan dugaan kuat pengabaian standar operasional prosedur (SOP).

β€œDua hari itu waktu yang sangat berharga. Anak kami dibiarkan dalam kondisi darurat tanpa penanganan yang tepat,” tegas Riski Rosadi, ayah bayi, Jumat (26/12/2025).

Riski mengungkapkan, sejak hari pertama keluarga telah menyampaikan kejanggalan kondisi bayi kepada tenaga medis. Namun keluhan tersebut tidak ditindaklanjuti secara profesional.

β€œKami hanya diberi penjelasan normatif, seolah-olah kondisi bayi masih wajar. Baru setelah kondisinya semakin parah, dokter menyampaikan bayi kami tidak memiliki lubang anus,” ungkapnya.

Pihak keluarga menegaskan bayi merupakan pasien BPJS dengan administrasi lengkap, sehingga menepis dugaan keterlambatan akibat persoalan biaya atau administrasi.

β€œTidak ada alasan pembenaran apa pun untuk kelalaian ini,” tegas Riski.

Sang ibu, Dara Yusnawita, yang masih dalam masa pemulihan pasca-operasi sesar, mengaku mengalami tekanan psikologis berat akibat minimnya komunikasi dan transparansi dari pihak rumah sakit.

β€œSaya masih lemah setelah operasi, tapi harus menerima kenyataan pahit ini tanpa penjelasan sejak awal. Kami seperti dibiarkan,” ujarnya.

Fakta lain yang mencuat, keluarga mengaku menerima informasi dari mantan pegawai RS Setia Budi yang menyebut kejadian serupa diduga pernah terjadi sebelumnya.

Jika informasi ini terbukti benar, maka persoalan tidak lagi bersifat individual, melainkan mengarah pada masalah sistemik dalam manajemen layanan medis dan pengawasan internal rumah sakit.

β€œKalau ini bukan kejadian pertama, berarti ada pola kelalaian yang sangat berbahaya. Ini harus diusut tuntas,” ujar salah satu anggota keluarga.

Secara hukum, dugaan keterlambatan diagnosis dan penanganan bayi dengan kondisi atresia ani ini berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang mewajibkan setiap fasilitas pelayanan kesehatan memberikan pelayanan yang aman, bermutu, dan mengutamakan keselamatan pasien.

Dalam Pasal 193 UU Kesehatan, disebutkan bahwa : Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan luka berat pada orang lain dapat dipidana.

Apabila keterlambatan penanganan ini terbukti menyebabkan kondisi gawat darurat yang membahayakan nyawa bayi, maka unsur kelalaian yang mengakibatkan luka berat berpotensi terpenuhi.

Selain itu, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit secara tegas menyatakan bahwa rumah sakit bertanggung jawab secara hukum atas seluruh kerugian yang ditimbulkan akibat kelalaian tenaga kesehatan.

Dalam Pasal 46 UU Rumah Sakit, ditegaskan : Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit.

Artinya, tanggung jawab hukum tidak hanya melekat pada tenaga medis secara individu, tetapi juga pada manajemen dan penyelenggara rumah sakit sebagai institusi.

Jika dugaan kelalaian medis ini terbukti, maka pihak terkait berpotensi menghadapi sanksi berlapis, antara lain :
1. Pidana, atas kelalaian yang membahayakan nyawa pasien.

2. Perdata, berupa tuntutan ganti rugi materiil dan immateriil oleh keluarga korban.

3. Sanksi administratif, mulai dari teguran keras, pembatasan layanan, hingga pencabutan izin operasional rumah sakit.

4. Sanksi etik profesi, melalui Majelis Kehormatan Disiplin Profesi terhadap dokter atau tenaga medis yang diduga melanggar SOP.

Pakar Hukum Internasional dan Ekonom, Prof. Dr. KH. Sutan Nasomal, menilai keterlambatan diagnosis terhadap kelainan bawaan fatal seperti atresia ani dapat mengarah pada dugaan malpraktik medis, terutama jika terbukti terjadi pembiaran terhadap kondisi gawat darurat yang seharusnya dapat dicegah sejak awal.

Menurutnya, keselamatan pasien merupakan hukum tertinggi yang tidak boleh dikompromikan oleh kelalaian institusi kesehatan.

Hingga berita ini diterbitkan, RS. Setia Budi Unit 2 Rimbo Bujang belum memberikan pernyataan resmi.

Upaya konfirmasi Go Indonesia.id kepada
Owner Siti Nurkhasanah, S.Keb, hanya di jawab singkat, “kami bekerja sudah sesuai prosedur” setelah itu Whatsapp mati? dan Chat masuk “Bntr ya bang”? tapi sampai berita terbit tidak bisa lagi di hubungi.

Diketahui, RS. Setia Budi Unit 2 Rimbo Bujang dipimpin oleh Direktur dr. Hanny Nadila Putri, dengan Owner Siti Nurkhasanah, S.Keb., Bdn. Namun hingga kini, belum ada klarifikasi terbuka kepada publik terkait dugaan kelalaian medis tersebut.

Pihak keluarga menegaskan, jika tidak ada penyelesaian yang adil dan transparan, mereka siap membawa kasus ini ke ranah hukum demi mencegah jatuhnya korban berikutnya.

β€œIni bukan hanya tentang anak kami. Ini soal nyawa manusia. Jangan sampai ada bayi lain yang menjadi korban kelalaian yang sama,” pungkas Riski.(*)

REDAKSI


Advertisement

Pos terkait