Hakim Sematkan Ekonomi Kapitalis Pada Tom Lembong, Bagaimana Dengan Gubernur Kepri?

IMG 20250910 WA0002

Reporter : Edy

TANJUNGPINANG | Go Indonesia.id _ Terdakwa kasus korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan periode 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong atau yang akrab disapa Tom Lembong dalam amar putusannya pada Jumat, 18 Juli 2025, majelis hakim menyebut salah satu hal yang memberatkan vonis terhadapnya karena kecenderungan mengedepankan sistem ekonomi kapitalis.

Bacaan Lainnya

Advertisement

Padahal Indonesia menganut sistem ekonomi Pancasila yang mengutamakan keadilan sosial dan kesejahteraan umum. Meski pada akhirnya Tom Lembong mendapatkan hadiah Abolisi oleh Presiden Prabowo Subianto.(10/9/25)

Menurut Ir. Soekarno, sistem ekonomi kapitalis adalah suatu sistem sosial yang ada di dalam masyarakat yang muncul dari cara produksi dan juga memisahkan kaum buruh dengan alat produksi yang ada.

Pertanyaannya, apakah penjaja jajanan dan mainan yang berjualan di Taman Gurindam 12 adalah buruh?
Atau mereka tuan di Negeri sendiri?
Atau bakal dijadikan buruh oleh para pembantu tuan (pemerintah) dan calon-calon kapitalis yang akan menguasai lapak-lapak di Taman Gurindam 12?

Apakah taman Gurindam 12 benar-benar milik rakyat, atau justru wajah lain dari praktik kapitalisasi di tingkat lokal?

Sistem ekonomi kapitalis berlandaskan pada tiga pilar utama, yaitu hak kepemilikan pribadi, individualisme ekonomi, serta persaingan bebas. Sistem ekonomi kapitalis sangat populer di era modern meski bisa dibilang cukup kontroversial. Pasalnya, sistem ini berpotensi membuat kesenjangan antara kaya dan miskin.

Pihak yang kaya atau dalam hal ini memiliki modal disebut akan semakin kaya, sedangkan yang miskin akan sulit mengejar yang kaya. Kondisi tersebut karena sistem ekonomi kapitalis pada dasarnya dikendalikan oleh siapa saja yang memiliki modal. Dalam pelaksanaan sistem ini, negara berperan hanya sebatas pengawas untuk memastikan kelancaran dari kegiatan ekonomi tanpa bisa ikut campur secara dalam untuk mengatur kebijakan.

Hari ini riuh di ruang-ruang publik membincangkan terkait kebijaksanaan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) melalui panitia pemilihan kerja sama pemanfaatan barang milik daerah (BMD) melelang pemanfaatan tanah beserta seluruh fasilitas Kawasan Gurindam 12 di Kota Tanjungpinang selama 30 tahun.

Taman Gurindam 12 di sepanjang area Tepi Laut Tanjungpinang yang selama ini menjadi pusat taman dan rekreasi warga Pinang dan Bintan serta menjadi ladang tumbuhnya pedagang-pedagang kecil dan area permainan anak-anak ini, mulai dilelang sejak 28 Agustus 2025 dan berakhir 15 September 2025.

Ini akan berpotensi melahirkan oligarki yang menguasai ekonomi kapitalis pada lapak-lapak pedagang kecil mengais rezeki.

Pedagang dan pengusaha UMKM yang hari ini mengais rezeki di Taman Gurindam 12 bukan semata-mata untuk mendapatkan kekayaan yang berlimpah, melainkan hanya mengais untuk makan dan hidup.

Sangat ironi Gubernur Kepri malah terfikir dan bahkan akan merealisasikan pengelolaan lapak rezeki pedagang kecil dengan melelang pemanfaatan tanah beserta seluruh fasilitas Kawasan Gurindam 12 yang bakal dikuasai dan dikelola oleh Oligarki.

Melihat fakta hati ini, dengan disematkannya tuduhan ekonomi Kapitalis pada Tom Lembong oleh hakim, apakah pantas juga disematkan pada Ansar Ahmad Gubernur Kepri?

Padahal proyek Kawasan Gurindam 12 ini dimulai sejak era Gubernur Nurdin Basirun dan diteruskan oleh pemerintah berikutnya dengan nilai anggarannya tidak main-main, lebih dari Rp 500 miliar yang bersumber dari APBD Provinsi Kepri.

Ada beberapa catatan kritis yang membuat publik wajar menuding lelang pengelolaan kawasan Gurindam 12 sebagai cermin ekonomi kapitalis:

Reklamasi dan Dampak Lingkungan Kawasan Gurindam 12 berdiri di atas reklamasi pesisir. Hal ini menimbulkan potensi pelanggaran terhadap UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang mewajibkan kajian AMDAL serta izin lokasi dan izin pengelolaan. Pertanyaan yang muncul, apakah seluruh izin ini benar-benar ditempuh secara transparan?

Jalan tepi laut dan kawasan yang semestinya bisa diakses masyarakat luas, dikhawatirkan pelan-pelan berubah menjadi zona bisnis yang dikontrol pihak swasta. Hal ini rentan menyalahi prinsip UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, di mana ruang publik tidak boleh dikomersialisasi secara berlebihan.

Sampai kini, tidak ada data resmi berapa persen pedagang lokal dan UMKM yang mendapatkan ruang di taman Gurindam 12. Yang lebih sering disorot adalah peluang investasi besar dan even-even seremonial. Artinya, orientasi kawasan lebih ke investor daripada pemberdayaan masyarakat pesisir.

Sebagai pemegang kuasa anggaran dan penanggung jawab pembangunan daerah, Gubernur Kepri harus menjawab keraguan publik. Berapa total biaya yang telah dikeluarkan, siapa kontraktor utama, dan apa mekanisme evaluasi manfaatnya?

Harus ada keadilan distribusi manfaat, berapa persen ruang usaha untuk UMKM lokal?
Apakah ada program kompensasi untuk nelayan terdampak?

Tanpa jawaban yang jelas oleh Gubernur Kepri, publik wajar menyamakan pola melelang pemanfaatan tanah beserta seluruh fasilitas Kawasan Gurindam 12 dengan tuduhan kapitalisasi yang diarahkan ke Tom Lembong.

Pembangunan Gurindam 12 seharusnya menjadi kebanggaan Kepri. Namun jika ternyata hanya menjadi proyek mercusuar yang memperkaya investor dan elit politik, maka ia akan tercatat sebagai simbol kapitalisasi ruang publik di daerah.

Sebagaimana tuduhan ke Tom Lembong, lelang lahan taman Gurindam 12 bisa jadi bukti nyata bagaimana pembangunan bergeser dari semangat “untuk rakyat” menjadi “untuk pemodal”.

Pertanyaannya sekarang, apakah Gubernur Kepri berani membuktikan bahwa lelang pengelolaan lahan taman Gurindam 12 benar-benar berpihak pada rakyat kecil, atau membiarkan publik menilai bahwa ia tak ubahnya tokoh kapitalis di level daerah?

Oleh: Edi Susanto (Edi Cindai) Penggiat Anti Korupsi, Pemerhati Lingkungan, Ketua Umum CINDAI Kepri


Advertisement

Pos terkait