Jeritan Warga Parit Misradi Teluk Pengkah: Dugaan Permainan Kotor Sengketa Lahan, PT WKS Diminta Bertanggung Jawab

IMG 20251127 WA0011

TANJAB BARAT | Go Indonesia.Id – Suara keluhan warga Desa Teluk Pengkah kembali memuncak. Pada Selasa, 25 November 2025, masyarakat menegaskan bahwa sengketa lahan yang mereka hadapi diduga berhubungan dengan PT Wirakarya Sakti (WKS). Kecurigaan adanya praktik lama, yang mereka sebut β€œpencuri jaman biyen”, kembali menguak dan membuat warga merasa semakin terpojok.

Tim Media Go Indonesia mendatangi kediaman RT 27, Suroto, untuk mengumpulkan dokumen dan keterangan terkait riwayat penguasaan lahan. Warga lain, Sabar, turut menyerahkan dokumen supradik tahun 2004 sebagai bukti bahwa lahan tersebut telah dikuasai sebelum masuk ke dalam wilayah konsesi perusahaan.

Bacaan Lainnya

Advertisement

Advertisement

Surat Supradik 2004 Tidak Diindahkan, PT WKS Dinilai Tertutup

Sabar mengungkapkan usahanya menemui Amri, pihak perwakilan PT WKS, berbuah nihil.

β€œPak Amri bilang kasus ini tidak bisa diurus lagi. Saya makin bingung. Padahal kami punya surat supradik sejak 2004,” jelasnya.

Sikap tertutup ini dianggap warga sebagai bentuk minimnya itikad baik perusahaan dalam menyelesaikan sengketa secara terbuka.

Warga: β€œLahan Kami Diambil, Kompensasi Tidak Jelas!”

Masyarakat Teluk Pengkah mengaku tidak pernah mendapat penjelasan resmi mengenai status lahan, apalagi kompensasi. Lahan yang mereka garap turun-temurun kini diduga masuk dalam konsesi tanpa kejelasan proses.

β€œKami tidak pernah diberitahu apa pun. Lahan kami diambil, tapi penjelasan tak ada. Keadilan di mana?” tegas Sabar.

Dugaan Permainan Lama: β€œPencuri Jaman Biyen” Kembali Beraksi?

Sejumlah warga menduga adanya kongkalikong antara pihak perusahaan dan oknum tertentu yang memanfaatkan celah administrasi lama untuk mengklaim lahan rakyat. Meski belum terbukti secara hukum, kecurigaan muncul karena sejumlah proses batas lahan dinilai tidak transparan.

Untuk memperkuat konteks pemberitaan, berikut kerangka pasal hukum yang lazim menjadi acuan dalam sengketa tanah antara masyarakat dan perusahaan :

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) – Pokok Agraria
– Pasal 3 : Mengatur hak ulayat masyarakat adat dan hubungan masyarakat dengan tanah.
Relevansi: Warga dapat menuntut pengakuan hak guna garap atau penguasaan turun-temurun.

2. Pasal 18 : Negara wajib menjamin kepastian hukum hak atas tanah.
Relevansi: Sengketa harus diselesaikan secara transparan dan adil.

2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan
– Pasal 55 : Perusahaan perkebunan dilarang menguasai lahan masyarakat tanpa penyelesaian yang sah.

– Pasal 56 : Setiap penguasaan lahan harus melalui musyawarah, kesepakatan, dan memberikan ganti rugi layak. Relevansi: Warga menilai tidak ada musyawarah ataupun kompensasi.

3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H)
– Melindungi kawasan hutan dari klaim sepihak. Relevansi: Jika lahan berada di area konsesi HTI, perlu audit batas yang jelas.

4. Peraturan Menteri ATR/BPN tentang Penyelesaian Sengketa Tanah
– Menegaskan kewajiban pemerintah melakukan mediasi ketika terjadi konflik lahan antara masyarakat dan perusahaan. Relevansi: Warga berhak meminta negara turun tangan.

Masyarakat Menuntut Mediasi dan Keadilan. Warga Teluk Pengkah berharap pemerintah daerah, BPN, hingga aparat penegak hukum turun tangan untuk meluruskan proses batas lahan dan status dokumen. Mereka menilai masalah ini sudah terlalu lama dibiarkan.

β€œKami hanya minta keadilan. Pemerintah harus hadir,” ujar warga.

Redaksi Go Indonesia menekankan bahwa penyelesaian sengketa lahan harus dilakukan secara :
1. Transparan
2. Berbukti dokumen
3. Melibatkan mediasi negara
4. Menjamin hak masyarakat

Sengketa seperti ini tidak boleh dibiarkan berlarut hingga memicu konflik sosial yang lebih besar.

REDAKSI


Advertisement

Pos terkait