Ketika Legalitas Mengalahkan Kualitas: Refleksi atas Fenomena Pemimpin Berijazah Kesetaraan

IMG 20251010 WA0033

Oleh: Abdul Azis Nasution
Wakil Ketua IWOI Provinsi Kepulauan Riau

BATAM | Go Indiblnesia.id_ Di tengah derasnya arus reformasi birokrasi dan gencarnya wacana tentang peningkatan kualitas sumber daya manusia, publik dikejutkan oleh fakta bahwa seorang kepala daerah di Kabupaten Anambas menjabat dengan latar belakang pendidikan formal yang hanya setara Paket A, B, dan C.

Bacaan Lainnya

Advertisement

Meski legal secara administratif, hal ini menimbulkan perdebatan moral, sosial, dan politik yang tidak bisa dikesampingkan begitu saja.

Negara memang mengakui pendidikan kesetaraan sebagai hak warga negara. Namun ketika jalur ini digunakan semata-mata untuk memenuhi syarat administratif guna meraih kekuasaan, tanpa proses pembelajaran yang substansial, maka kita patut bertanya: Apakah legalitas cukup untuk menjadi pemimpin?

Pendidikan: Bukan Sekadar Syarat, Tapi Titik Tolak Peradaban

Pendidikan tidak hanya soal ijazah. Ia adalah proses panjang membentuk karakter, memperluas cara berpikir, serta menanamkan tanggung jawab sosial dan intelektual.

Seorang pemimpin, apalagi kepala daerah, memegang kendali atas kebijakan, anggaran, dan arah pembangunan masyarakat.

Jika posisi strategis ini dijabat oleh seseorang yang minim pengalaman pendidikan formal, maka potensi salah arah kebijakan, manipulasi, hingga ketergantungan pada pihak lain menjadi ancaman serius.

Di saat negara berjuang mencetak Generasi Emas 2045, fenomena seperti ini justru bisa menggembosi semangat anak muda. Apa gunanya belajar dan kuliah bertahun-tahun, jika contoh di lapangan menunjukkan bahwa kekuasaan bisa diraih tanpa proses intelektual yang utuh?

Media: Diam Bersuara atau Bersuara Diam?

Yang tak kalah mengkhawatirkan adalah minimnya keberanian media dalam mengangkat isu ini secara mendalam.

Banyak media lebih memilih memainkan peran netral atau bahkan senyap dengan hanya melaporkan permukaan peristiwa, tanpa menggali dampaknya secara substansial terhadap demokrasi, pendidikan, dan masa depan kepemimpinan bangsa.

Padahal, media adalah pilar keempat demokrasi. Ia seharusnya menjadi ruang edukasi publik, bukan sekadar penyampai informasi. Ketika media abai, publik kehilangan arah.

Ketika media hanya memburu sensasi, kita sedang menciptakan kebingungan, bukan kesadaran.

Di era digital, di mana kecepatan mengalahkan kedalaman, media dituntut untuk tidak sekadar menjadi penyampai pesan, tapi juga kurator nilai dan penjaga akal sehat masyarakat.

Sudah saatnya media mengambil sikap: berani menyuarakan kepentingan jangka panjang bangsa, bukan hanya mengejar klik dan algoritma.

Demokrasi Butuh Standar, Bukan Sekadar Suara

Kualitas pemimpin berbanding lurus dengan kualitas sistem rekrutmennya. Sayangnya, dalam praktik politik kita hari ini, elektabilitas dan kekuatan modal kerap lebih menentukan daripada kapasitas intelektual dan integritas moral.

Partai politik, sebagai penjaga gerbang kepemimpinan, sering kali melonggarkan standar hanya demi memenangkan kontestasi.

Jika kondisi ini terus dibiarkan, kita sedang menormalisasi pemimpin instan. Sosok yang mungkin berhasil meraih jabatan, tapi lemah dalam visi, miskin gagasan, dan mudah dijadikan alat oleh kepentingan jangka pendek.

Penutup: Kita Butuh Pemimpin yang Naik Tangga, Bukan Loncat ke Puncak

Fenomena ini seharusnya menjadi panggilan moral, bukan sekadar perdebatan teknis.

Kita tidak sedang menghakimi jalur pendidikan seseorang, tapi mempertanyakan keseriusan kita sebagai bangsa dalam menempatkan kualitas sebagai syarat utama kepemimpinan.

Pemimpin adalah simbol tertinggi di mata rakyat. Ia seharusnya menjadi inspirasi bukan jalan pintas. Dan pendidikan adalah salah satu pijakan utamanya.

Jika bangsa ini ingin maju, kita harus berhenti memaklumi legalitas tanpa kualitas. Karena di balik setiap pemimpin yang kita pilih, ada masa depan yang sedang kita pertaruhkan.

Redaksi


Advertisement