Oleh: Andi Rio Framantdha
TANJUNGPINANG | Go Indonesia.id_ Rapat Dengar Pendapat (RDP) semestinya menjadi ruang demokratis untuk menyuarakan kepentingan rakyat secara terbuka, transparan, dan akuntabel.
Namun apa jadinya jika forum yang seharusnya menjunjung tinggi etika dan kejujuran justru menjadi panggung formalitas tanpa substansi?
Inilah ironi yang terjadi dalam sebuah RDP yang menghadirkan Ketua DPRD Provinsi Kepri dan sejumlah pihak masyarakat sipil.
Sejak awal, peserta telah menegaskan pentingnya pembacaan terbuka berita acara sebelum proses penandatanganan dilakukan.
Seruan ini bukan tanpa alasanโberita acara bukan hanya sekadar dokumen administratif, melainkan representasi politik dan moral dari proses deliberatif yang telah dilalui bersama.
Namun fakta di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Permintaan agar berita acara dibacakan secara terbuka oleh Yusri Sabri sebagaimana telah dikoordinasikan lewat berbagai jalur resmi tidak diindahkan.
Sebuah tindakan yang memicu kekecewaan dan menciptakan kesan bahwa RDP tersebut hanyalah prosedur kosong, tanpa ruh demokrasi yang sejati.
Kritik keras datang dari Edy Susanto, salah satu peserta yang menyoroti tidak adanya transparansi dalam proses ini.
Suasana memanas ketika Ferry dari Majelis Permusyawaratan Umat Islam Indonesia (MPUI) turun tangan langsung, mengambil mikrofon, dan mendesak agar berita acara segera dibacakan dan ditandatangani di depan forum.
Tindakan ini menandai betapa urgennya kejujuran prosedural dalam proses politik lokal.
Gerakan Bersama (Geber), yang selama ini menjadi bagian dari suara moral masyarakat, merasa dikhianati oleh proses yang seolah ingin menyederhanakan persoalan politik menjadi sekadar formalitas.
โJangan ada dusta di antara kita,โ demikian salah satu seruan yang mengemuka. Sebuah pengingat bahwa demokrasi yang sehat tidak bisa dibangun di atas fondasi ketertutupan.
Tokoh-tokoh seperti Riswandi dan Solihin pun memberikan batas waktu tegas hingga tengah malam untuk memastikan bahwa berita acara dibacakan dan ditandatangani secara sah.
Ini bukan sekadar soal waktu administratif, tetapi penanda bahwa kepercayaan publik tidak bisa terus-menerus dikorbankan atas nama efisiensi birokrasi.
Demokrasi Tanpa Transparansi adalah Kepalsuan
Beberapa ahli hukum menilai, tindakan tidak membacakan berita acara sebelum penandatanganan adalah bentuk pelanggaran prinsip keterbukaan dalam tata kelola pemerintahan.
Dr. Mahendra Putra, pakar hukum administrasi negara, menyebutnya sebagai kontrak tanpa isi : “Secara hukum sah, tapi kehilangan legitimasi moral.”
Lebih jauh lagi, para pengamat politik menilai bahwa kejadian ini mencerminkan krisis kepercayaan antara rakyat dan lembaga legislatif.
Ketika mekanisme yang mestinya terbuka justru dijalankan dalam senyap, publik berhak curiga: ada apa yang sedang disembunyikan?
Dalam konteks yang lebih luas, kasus ini adalah miniatur dari persoalan tata kelola pemerintahan di banyak daerah.
Banyak forum publik yang dijalankan seolah-olah untuk mendengar aspirasi rakyat, namun pada kenyataannya telah dikunci sebelumnya oleh kesepakatan elitis.
Jika praktik semacam ini terus terjadi, maka tidak hanya legitimasi lembaga yang rusak, tetapi juga semangat demokrasi itu sendiri yang akan runtuh.
Politik Butuh Etika, Bukan Sekadar Prosedur
Kisruh dalam RDP ini mengingatkan kita bahwa demokrasi bukan hanya soal prosedur, melainkan tentang integritas.
Transparansi bukan hiasan administratif, tetapi jantung dari praktik politik yang sehat.
Jika lembaga legislatif sebagai representasi rakyat tidak mampu menjaga keterbukaan, maka kita sedang menyaksikan erosi kepercayaan yang sistematis.
Rakyat hari ini tidak hanya menuntut hasil, tetapi juga proses yang jujur. Karena tanpa kejujuran dalam proses, maka hasil apa pun akan kehilangan makna.
Itulah sebabnya pembacaan berita acara bukan persoalan teknis, melainkan soal moralitas politik.
Apakah lembaga-lembaga kita siap untuk membuka diri dan bertanggung jawab di hadapan rakyat, ataukah masih terus bertahan dengan permainan prosedural yang meninabobokan nurani?
Jawabannya akan menentukan arah demokrasi kita ke depan apakah kita menuju keterbukaan sejati, atau justru semakin dalam tenggelam dalam formalitas yang membusuk.
—
Reporter : Edi
Editor :ย Go Indonesia.id