Konflik Pengelolaan Labuh Jangkar di Kepulauan Riau

TANJUNGPINANG | GoIndonesia.id – Konflik kewenangan dalam pengelolaan labuh jangkar di Provinsi  Kepri terjadi antara Pemerintah Provinsi Kepri dan pemerintah pusat, khususnya Kementerian Perhubungan serta Badan Pengusahaan Batam (BP Batam).(25/2/25)

Perselisihan ini berawal dari tumpang tindih regulasi terkait pemungutan retribusi labuh jangkar, yang berdampak pada ketidakpastian hukum dan ekonomi bagi pelaku usaha di sektor maritim.

Bacaan Lainnya

Advertisement

Akar Masalah: Desentralisasi vs. Resentralisasi

Menurut Albert Sutan seorang pemerhati dan pengamat kebijakan publik, konflik ini mencerminkan ketegangan antara desentralisasi dan resentralisasi.

Pemerintah daerah berpegang pada Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 yang memberikan kewenangan atas pengelolaan laut hingga 12 mil dari garis pantai, sementara pemerintah pusat tetap mempertahankan kontrol atas pemungutan retribusi.

“Pemerintah pusat memiliki posisi yang lebih kuat dalam konflik ini, terbukti dengan tetap dilakukannya pemungutan retribusi oleh Kementerian Perhubungan dan BP Batam.

Sementara itu, pemerintah daerah sering kali menghadapi kendala karena keterbatasan kewenangan dan dukungan dalam memperjuangkan haknya,” jelas nya

Selain faktor regulasi, perbedaan kepentingan ekonomi antara pusat dan daerah juga menjadi pemicu utama konflik.

Pemerintah daerah ingin menjadikan labuh jangkar sebagai sumber pendapatan daerah, sedangkan pemerintah pusat tetap mempertahankan kewenangannya atas sektor maritim yang strategis.

Dampak Konflik dan Upaya Penyelesaian

Konflik berkepanjangan ini tidak hanya menghambat pendapatan daerah tetapi juga berdampak pada ekosistem maritim.

Beberapa kapal yang berlabuh tanpa izin resmi sering membuang limbah sembarangan, menyebabkan pencemaran di perairan Kepri.

Pemerintah pusat dan daerah sebenarnya telah berupaya mencari solusi, salah satunya melalui koordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.

Pada Februari 2020, Menko Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan bahwa penyelesaian konflik labuh jangkar di Kepri menjadi prioritas, namun hingga kini permasalahan ini masih berlanjut.

Albert menegaskan bahwa resolusi konflik harus dilakukan melalui pendekatan yang lebih kompromistis.

“Pemerintah daerah sebaiknya membuka ruang dialog yang lebih luas dengan pemerintah pusat dan pelaku usaha.

“Yang terpenting adalah mencari solusi yang tidak hanya menguntungkan satu pihak, tetapi juga memberikan kepastian hukum bagi dunia usaha serta melindungi lingkungan maritim Kepri,” katanya.

Dengan penyelesaian yang adil dan jelas, konflik ini diharapkan dapat diakhiri, sehingga pengelolaan labuh jangkar di Kepri dapat berjalan lebih optimal dan memberikan manfaat bagi semua pihak.

Reporter: Edy


Advertisement

Pos terkait