KUANSING | Go Indonesia.Id – Aktivitas pertambangan emas tanpa izin (PETI) di Desa Pantai dan Desa Lubuk Ramo, Kecamatan Kuantan Mudik, kembali menjadi sorotan besar.
Hingga Senin, 17 November 2025, warga melaporkan sedikitnya 300 unit rakit PETI tetap beroperasi di aliran Sungai Batang Naro dan kawasan kebun sawit sekitar Estate Bukit Sepayung.
Padahal, tiga hari sebelumnya 14 November 2025, aktivitas serupa sudah ramai diberitakan dan disebut telah mendapat perhatian aparat penegak hukum (APH). Namun fakta di lapangan berkata lain: bukan berkurang, justru diduga bertambah banyak.
Keresahan warga kian membesar lantaran mencuatnya dugaan keterlibatan oknum tertentu dalam melindungi aktivitas ilegal ini.
Sejumlah warga menyebut adanya pungutan sekitar Rp1,5 juta per minggu per rakit, yang konon disetor kepada seorang koordinator berinisial T dan R.
Informasi ini juga diperkuat oleh sumber internal APH berinisial S dan M, yang menyebut nama yang sama sebagai pengumpul pungutan lapangan.
Meski masih berupa dugaan, pola keberlanjutan PETI yang nyaris tanpa hambatan membuat publik bertanya-tanya: ada apa dengan penegakan hukum di Kuansing?
Tak hanya dugaan setoran, warga juga mengeluhkan bocornya rencana razia sebelum petugas turun.
βSelama ini razia selalu bocor duluan. Katanya sudah dimusnahkan, tapi faktanya tidak begitu. Tambang masih jalan terus, bahkan bertambah banyak,β ungkap salah seorang warga.
Bocornya informasi operasi menjadi sorotan serius karena membuat langkah penertiban tak pernah menyentuh pelaku sesungguhnya.
Aksi PETI terpantau berlangsung di beberapa titik, di antaranya :
1. Aliran Sungai Batang Naro dan sekitarnya
2. Kawasan kebun kelapa sawit di area Estate Bukit Sepayung
3. Beberapa lokasi yang disebut berada di luar HGU PT Karya Tama Bakti Mulia (KTBM)
Selain itu, pelaku diduga menggunakan BBM subsidi jenis solar, yang jika terbukti, menambah panjang daftar pelanggaran yang terjadi.
Kerusakan lingkungan akibat PETI semakin meluas. Warga yang menolak aktivitas tersebut merasa pemerintah Daerah dan APH belum menunjukkan tindakan nyata.
βMohon agar Bapak Kapolda Riau turun langsung. Jangan biarkan Kuansing hancur karena tambang ilegal ini,β ujar warga lain.
Desakan ini mencerminkan hilangnya kepercayaan terhadap upaya penertiban di tingkat lokal.
Hingga berita ini diterbitkan, jurnalis masih berupaya menghubungi pihak-pihak terkait, termasuk individu berinisial T dan R, untuk mendapatkan klarifikasi atas dugaan koordinasi pungutan pada aktivitas PETI tersebut.
Aktivitas PETI melanggar sejumlah aturan pidana, di antaranya :
1. UU Minerba (UU 3/2020)
a. Pasal 158 : Penjara 5 tahun + denda Rp100 miliar
b. Pasal 161 : Jerat hukum bagi pihak yang membantu atau memfasilitasi PETI
2. KUHP Pasal 55-56
a. Turut serta, membantu, atau mempermudah tindak pidana
3. UU PPLH No. 32/2009
a. Pidana 10 tahun + denda Rp10 miliar terkait pencemaran lingkungan
4. UU Migas No. 22/2001
a. Penggunaan BBM subsidi tidak sesuai peruntukan
5. Kewenangan Pemda, Satpol PP, DLH, dan OPD terkait memiliki dasar hukum melakukan penertiban PETI.
Maraknya PETI di Kuantan Mudik bukan hanya ancaman bagi lingkungan, tetapi juga cermin lemahnya penegakan hukum di lapangan.
Dugaan pungutan, koordinasi oknum, dan bocornya razia menjadi catatan serius yang harus diusut tuntas.
Warga menegaskan bahwa mereka akan terus menyuarakan kondisi ini demi keselamatan lingkungan dan masyarakat.(*)
REDAKSI



