Oleh: Nur Amalia Abbas
JAKARTA | Go Indonesia.id βΒ Sistem tilang elektronik atau Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) dinilai sebagai lompatan besar dalam upaya modernisasi penegakan hukum lalu lintas di Indonesia. Dengan mengandalkan teknologi kamera pengawas yang terintegrasi secara digital, pelanggaran lalu lintas kini dapat dideteksi secara otomatis tanpa keterlibatan langsung aparat di lapangan. Inovasi ini digadang-gadang sebagai solusi untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas dalam sistem penilangan nasional.
Namun di balik keunggulannya, implementasi ETLE juga memunculkan sejumlah problematika krusial yang menyentuh aspek keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat. Tantangan inilah yang menjadi sorotan berbagai pihak, termasuk Mahkamah Agung Republik Indonesia, yang dinilai perlu turun tangan memberikan kepastian hukum melalui regulasi yudisial yang komprehensif.
—
Transparan, Efisien, dan Minim Pungli
Dibandingkan dengan sistem tilang konvensional, ETLE menawarkan banyak keunggulan. Salah satu nilai lebih yang paling signifikan adalah kemampuannya untuk memangkas praktik pungutan liar (pungli) yang kerap terjadi dalam interaksi langsung antara pengendara dan petugas di lapangan.
“Keberadaan ETLE menjauhkan potensi penyalahgunaan wewenang di lapangan. Proses penilangan kini sepenuhnya berbasis data dan rekaman digital,” ujar seorang pejabat Direktorat Lalu Lintas Polri yang enggan disebut namanya.
Selain itu, sistem ini memungkinkan pengawasan yang jauh lebih luas tanpa harus menghadirkan petugas di setiap titik rawan pelanggaran. Kamera ETLE yang tersebar di berbagai ruas jalan secara otomatis merekam pelanggaran, seperti menerobos lampu merah, melanggar marka, atau tidak menggunakan sabuk pengaman.
—
Tantangan Data dan Ketidakadilan Pemilik Kendaraan
Kendati demikian, penerapan ETLE bukan tanpa cela. Salah satu kritik paling mendasar datang dari aspek subjek hukum pelanggaran. Sistem ETLE secara otomatis mengirimkan surat konfirmasi pelanggaran kepada pemilik kendaraan sesuai data Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB). Namun, dalam praktiknya, kendaraan sering kali digunakan oleh pihak ketigaβpenyewa, peminjam, bahkan pemilik baru yang belum memperbarui data kepemilikan.
“Akibatnya, denda atau surat panggilan sering kali diterima oleh pihak yang sama sekali tidak melakukan pelanggaran. Ini tentu menimbulkan ketidakadilan,” ungkap Nurul Hidayat, praktisi hukum dari Lembaga Advokasi Transportasi Indonesia.
Lebih dari itu, ETLE hanya berlaku di ruas-ruas jalan yang telah dipasangi kamera pengawas dan terhubung dengan sistem milik kepolisian. Di luar itu, tilang konvensional masih diberlakukan, menciptakan dualisme pendekatan penegakan hukum lalu lintas yang bisa membingungkan masyarakat.
—
Mekanisme Denda dan Peran Hakim yang Belum Terinformasikan
Salah satu isu lain yang tak kalah penting adalah terkait nominal denda tilang yang kerap kali tercantum dalam surat konfirmasi ETLE. Tidak sedikit warga mengeluhkan bahwa denda yang tertera merupakan jumlah maksimal, sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai mekanisme keberatan, banding, atau bahkan pengembalian dana bila denda yang akhirnya ditetapkan hakim ternyata lebih kecil.
“Publik belum banyak memahami bahwa hakim lalu lintas memiliki kewenangan untuk memutuskan jumlah denda. Sayangnya, mekanisme pengembalian selisih pembayaran tidak tersosialisasikan dengan baik,” jelas Dr. Ratri Dewi, dosen hukum tata negara Universitas Indonesia.
Dalam hal ini, peran Mahkamah Agung menjadi sangat krusial. Sebagai lembaga peradilan tertinggi, MA memiliki kewenangan untuk menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) sebagai pedoman teknis peradilan, terutama dalam menjawab tantangan baru seperti sistem ETLE.
—
Perlunya SEMA sebagai Payung Hukum Peradilan dalam Sistem ETLE
Untuk menjamin keadilan substantif dan kepastian hukum bagi seluruh lapisan masyarakat, para ahli hukum dan pegiat transportasi mendorong Mahkamah Agung segera menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung yang secara spesifik mengatur aspek-aspek krusial dalam penanganan perkara tilang ETLE.
Surat edaran ini diharapkan dapat mencakup beberapa poin penting:
Kewenangan hakim dalam menentukan besar denda yang proporsional,
Tata cara keberatan dan banding terhadap denda ETLE,
Mekanisme pengembalian kelebihan pembayaran denda,
Perlindungan hukum bagi pemilik kendaraan yang bukan pelaku pelanggaran.
Dengan regulasi peradilan yang jelas, terstruktur, dan mudah dipahami masyarakat, sistem ETLE tidak hanya menjadi simbol modernisasi penegakan hukum, tetapi juga menjadi instrumen yang menjunjung tinggi asas keadilan.
—
Kesimpulan: Modernisasi Butuh Payung Hukum yang Kuat
ETLE memang merupakan langkah besar menuju sistem hukum lalu lintas yang transparan dan berbasis data. Namun, agar ETLE tidak menjadi bumerang bagi keadilan, perlu adanya sinergi antara aparat penegak hukum dan lembaga peradilan dalam merumuskan pedoman pelaksanaannya.
Inovasi teknologi perlu ditopang oleh regulasi yang inklusif dan adil. Dengan demikian, kepercayaan publik terhadap sistem hukum akan meningkat, dan ETLE benar-benar menjadi sarana penegakan hukum yang efektif, adil, dan terpercayaβbukan sekadar instrumen penindakan yang dingin dan tanpa nuansa keadilan.
Sumber : Humas Mahkamah Agung RI
Reporter : Iskandar