NATUNA | Go Indonesia.id_ Di ujung utara Indonesia, tepatnya di Kepulauan Natuna, nelayan-nelayan kini tak lagi menyanyikan lagu bahagia. Di tengah laut yang melimpah dengan potensi perikanan, mereka justru terhimpit dalam krisis yang menyayat hati. Jeritan mereka menggema di tengah deru ombak, membawa kabar duka dari perbatasan negeri.
Krisis ini bukan semata soal cuaca buruk atau musim tangkap yang sepi. Lebih dari itu, nelayan lokal menghadapi kondisi yang semakin sulit akibat terhentinya akses ekspor, maraknya kapal asing ilegal (KIA), serta lemahnya perlindungan dari negara
Ekspor Terhenti, Harapan Padam
Dulu, ekspor ikan kerapu dan mapolion menjadi andalan utama nelayan Natuna.(28/6/25).
Harga ikan hidup yang ditangkap dari laut dalam bisa mencapai jutaan rupiah per ekor di pasar luar negeri. Namun kini, semua itu hanya kenangan.
βDulu kami bisa kirim ikan lewat kapal Hong Kong dari Sedanau. Sekarang sudah tidak bisa lagi. Stok di keramba banyak, tapi tak ada pembeli. Sementara biaya pakan dan perawatan jalan terus,β keluh seorang pembudidaya ikan di Pulau Tiga.
Ketika akses ekspor ditutup, nelayan tidak hanya kehilangan penghasilan, tapi juga kehilangan harapan.
Dikepung KIA dan Kapal Lengkong
Yang lebih menyakitkan, saat nelayan lokal kesulitan, kapal asing ilegal (KIA) justru terus bebas melintas dan mencuri hasil laut dari perairan Natuna. Mereka datang dari Vietnam, Thailand, bahkan Tiongkok β lengkap dengan kapal besar dan alat tangkap modern.kata Joko suprianto,salah satu nelan lokal Sedanau.
Ironisnya, sejumlah kapal dalam negeri dengan izin resmi β yang dikenal sebagai “kapal Lengkong”, karena beroperasi dari luar Natuna β juga dinilai ikut menguras kekayaan laut setempat. Meski legal, kehadiran kapal-kapal ini kerap dianggap tidak berpihak pada kesejahteraan nelayan tradisional.
βNelayan lokal pakai perahu 3 GT, paling bisa nangkap 50 kilogram sehari. Kapal Lengkong sekali jalan bisa angkut berton-ton. Ini tidak adil,β ujar seorang warga di Kecamatan Serasan.
Suara dari Ujung Negeri
Dalam situasi terjepit ini, nelayan Natuna berharap pemerintah pusat maupun daerah segera turun tangan. Mereka mendesak dibukanya kembali jalur ekspor langsung dari Natuna, penguatan pengawasan terhadap KIA, serta pembenahan regulasi perizinan agar lebih berpihak pada nelayan kecil.
βLaut kami kaya, tapi kami hidup miskin. Kami tidak minta disubsidi, kami cuma minta keadilan,β tutur seorang nelayan di Kecamatan Pulau Laut.
Kisah nelayan Natuna adalah potret nyata dari ketimpangan pengelolaan sumber daya laut Indonesia.
Di wilayah yang dijuluki βberanda depan Nusantaraβ, rakyatnya justru merasa seperti berada di halaman belakang republik.
Reporter : Baharullazi