Nelayan Tradisional Natuna Tolak Kapal Besar dari Jawa: “Kami Akan Tersisih di Laut Sendiri”

IMG 20250530 WA0019

NATUNA | Go Indonesia.id_ Rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk menghadirkan kapal-kapal besar dari Pulau Jawa ke wilayah perairan Natuna menuai penolakan keras dari nelayan tradisional setempat. Mereka khawatir kebijakan ini akan mengancam keberlangsungan hidup mereka yang selama ini bergantung pada laut dengan alat tangkap sederhana.

“Kami bukan menolak demi kepentingan negara, tapi jangan sampai kami tersisih di laut sendiri,” ujar Joko Suprianto, nelayan asal Sedanau, Jumat (30/5).

Bacaan Lainnya

Advertisement

Joko, yang telah menggantungkan hidupnya di laut selama lebih dari dua dekade, merasa resah dengan kemungkinan kehadiran kapal-kapal industri berteknologi tinggi. Ia menyebut keberadaan armada besar tersebut bisa menggerus wilayah tangkap nelayan lokal.

“Kapal mereka besar, alatnya canggih. Kami hanya punya perahu kayu dan jaring seadanya. Kalau laut dipenuhi kapal besar, kami harus cari ikan ke mana?” keluhnya.

Menurut KKP, kebijakan ini bertujuan memperkuat kedaulatan Indonesia di Laut Natuna Utara serta mengurangi aktivitas kapal asing ilegal. Namun, para nelayan setempat menilai pendekatan tersebut mengabaikan peran mereka sebagai penjaga laut yang sebenarnya selama ini.

“Kalau mau jaga kedaulatan, libatkan kami. Perkuat armada nelayan lokal, jangan malah datangkan kapal dari luar yang membuat kami jadi penonton di rumah sendiri,”

Selain ancaman terhadap ruang tangkap, Joko juga menyoroti lemahnya infrastruktur perikanan di Natuna. Ia menyebut pelabuhan belum memadai, fasilitas cold storage sering tidak berfungsi, distribusi hasil tangkapan lambat, dan bahan bakar sulit diperoleh dengan harga terjangkau.

“Kalau kapal besar datang, bisa-bisa semua fasilitas hanya diprioritaskan untuk mereka. Kami yang kecil ini akan makin terpinggirkan,” ujarnya.

Kekhawatiran nelayan juga bertambah dengan adanya rencana kewajiban pemasangan Vessel Monitoring System (VMS) pada kapal-kapal kecil. Sistem pemantauan berbasis satelit ini dinilai terlalu membebani nelayan tradisional secara finansial dan teknis.

“Kami disuruh pasang VMS yang harganya mahal dan sistemnya rumit. Kami ini nelayan kecil, bukan kapal industri. Bukannya dibantu, malah ditambah beban,” ungkap Joko.

Menurutnya, jika kewajiban ini diterapkan secara kaku tanpa dukungan dan subsidi dari pemerintah, nelayan tradisional akan semakin kesulitan untuk melaut.

Penolakan tidak hanya datang dari Joko. Sejumlah nelayan di Sedanau dan desa-desa pesisir lain juga menyuarakan kekhawatiran yang sama. Mereka meminta KKP untuk meninjau kembali kebijakan ini dan lebih fokus pada pemberdayaan nelayan lokal.

“Bantu kami dulu. Perbaiki infrastruktur, tingkatkan alat tangkap kami, dan berikan pelatihan. Jangan ambil jalan pintas yang justru mematikan nelayan kecil pelan-pelan,” tandas Joko.

Suara senada juga disampaikan nelayan lainnya pada 30 Mei 2025. Mereka menegaskan bahwa keberadaan kapal besar dari luar daerah dan kebijakan tambahan seperti VMS bukanlah solusi jangka panjang bagi keberlanjutan laut Natuna dan kehidupan nelayan lokal.

Reporter : Baharullazi


Advertisement

Pos terkait