Opini | LAM Disebut Lembaga Proxy Pemerintah, Kesultanan Riau Lingga Dinilai Pemilik Sah Kepri

IMG 20251217 WA0034

KEPULAUAN RIAU | Go Indonesia.id – Keberadaan Lembaga Adat Melayu (LAM) kembali menjadi sorotan. Lembaga ini dinilai oleh sebagian kalangan bukan lagi sebagai representasi adat yang independen, melainkan disebut telah berfungsi sebagai proxy pemerintah daerah.

Pandangan kritis ini disampaikan Ketua Umum KBAPTSI (Keluarga Besar Alumni Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia), Drs. Hendra Zon, MM, dalam sebuah diskursus publik.rabu (17/12/25)

Bacaan Lainnya

Advertisement

Advertisement

Menurut Hendra Zon, lingkaran kekuasaan negara saat ini dinilai berada dalam cengkeraman pemilik modal, sehingga akar budaya dan sejarah bangsa mengalami kemunduran dan bahkan terpinggirkan. Ia mencontohkan kondisi Kesultanan Riau Lingga di Kepulauan Riau yang dinilainya sebagai entitas sejarah dan budaya yang sah, namun kini nyaris hilang dari ruang kebijakan dan simbol kenegaraan daerah.

β€œKesultanan Riau Lingga secara historis dan kultural adalah pemilik sah wilayah Kepulauan Riau. Namun keberadaannya perlahan tergantikan oleh lembaga-lembaga bentukan pemerintah yang tidak lahir dari akar adat,” ujarnya.

Hendra juga menilai, sejak tahun 2002, sistem ketatanegaraan Indonesia secara praktik telah bergeser dari demokrasi yang berlandaskan kedaulatan rakyat menuju plutokrasi, yakni kedaulatan yang dikuasai oleh pemilik modal. Pergeseran tersebut, menurutnya, terjadi melalui mekanisme politik dan partai-partai yang dinilai lebih melayani kepentingan oligarki dibanding kepentingan rakyat.

Ia menegaskan bahwa kondisi tersebut bertentangan dengan cita-cita para pendiri bangsa (Founding Fathers), khususnya nilai-nilai Pancasila. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah mengembalikan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ke posisi semula sebagai lembaga tertinggi negara, sebagaimana amanat Sila Keempat Pancasila.

β€œPenguatan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara merupakan bagian dari koreksi sejarah dan upaya mengembalikan kedaulatan rakyat secara utuh,” jelasnya.

Terkait Lembaga Adat Melayu (LAM), Hendra mempertanyakan independensinya yang dinilai terlalu dekat dengan struktur pemerintahan daerah. Ia menyebut kondisi ini berpotensi mengaburkan peran adat sebagai penyangga nilai, budaya, dan kearifan lokal yang seharusnya berdiri di luar kepentingan kekuasaan politik.

Isu ini, lanjut Hendra, perlu dibahas secara terbuka dan mendalam agar tidak menimbulkan kesalahpahaman di tengah masyarakat.

Ia mengajak publik untuk mencermati dan memahami secara utuh relasi antara negara, lembaga adat, dan warisan kesultanan sebagai bagian dari identitas sejarah bangsa.

Penulis:
Drs. Hendra Zon, MM
Ketua Umum KBAPTSI
(Keluarga Besar Alumni Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia)


Advertisement

Pos terkait