BATAM | Go Indonesia.id β Rencana pemerintah melakukan perubahan keempat PP Nomor 46 Tahun 2006 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batam memicu gelombang reaksi keras dari tokoh Melayu.
Usulan tersebut memperluas wilayah kerja KPBPB Batam hingga mencakup 22 pulau dengan total luas mencapai 152.686,44 hektare. Kebijakan ini dipandang oleh sebagian kalangan sebagai langkah ambisius pemerintah pusat, namun bagi masyarakat Melayu, wacana itu justru menimbulkan kegelisahan mendalam.
Panglima Melayu Gagak Hitam, Arba Udin, dengan tegas mempertanyakan sikap pemerintah yang dinilai mengabaikan akar sejarah dan kedaulatan tanah Melayu.
> βBagaimana sikap bangsa Melayu jika tanahnya dijadikan kawasan perdagangan bebas oleh pemerintah? Apakah tanah leluhur hanya dipandang sebagai komoditas ekonomi semata?β ujarnya dengan nada geram.
Pernyataan ini sontak menjadi sorotan publik karena menyentuh isu sensitif: identitas, kedaulatan, dan masa depan tanah Melayu di Kepulauan Riau.
Pengamat menilai, perluasan KPBPB bukan sekadar persoalan ekonomi, tetapi menyangkut hak masyarakat lokal atas tanah, budaya, dan lingkungan. Tanpa keterlibatan masyarakat adat, kebijakan ini dikhawatirkan akan memicu konflik agraria baru.
Sementara itu, hingga berita ini diturunkan, pemerintah pusat belum mengeluarkan pernyataan resmi menanggapi sikap penolakan tersebut.
Namun tekanan dari tokoh Melayu diyakini akan menjadi ujian serius bagi pemerintah dalam menjaga keseimbangan antara kepentingan investasi dan penghormatan terhadap hak masyarakat lokal.
Reporter : AZIZ