PULAU PENYENGAT | Go Indonesia.id_ Di suatu pagi yang tenang di Pulau Penyengat, angin Selat Malaka masih membawa doa-doa lama.
Doa para leluhur Melayu yang pernah membangun peradaban, bahasa, ilmu, dan marwah Islam di bumi Riau Lingga.
Namun hari ini, doa itu seakan terhenti di balik tembok istana yang mulai rapuh dan makam para raja yang sunyi tanpa perhatian.
Pulau kecil ini bukan sekadar daratan di tengah laut.
Ia adalah saksi bisu kejayaan Melayu, pusat denyut sejarah yang pernah menjadi urat nadi ekonomi dan peradaban dunia, di persimpangan Selat Malaka dan Selat KarimataΒ jalur lintas laut terpenting Asia Tenggara untuk perdagangan global sejak berabad silam.
Asal-Usul Bangsa Melayu Riau Lingga
Melayu Riau Lingga bukanlah suku kecil yang lahir dari pinggiran sejarah.
Ia adalah urat nadi peradaban Melayu Nusantara.
Kesultanan Riau Lingga berdiri sejak abad ke-17, melanjutkan kejayaan Kesultanan Malaka abad ke-15 dan Kesultanan Johor abad ke-16 di semenanjung Malaka.
Wilayah kekuasaan nya yang berpusat di Kepulauan Riau membentang luas dari semenanjung Malaka yang meliputi Johor, Trengganu dan Temasek (sebelum jatuh ke tangan Inggris tahun 1819 berubah nama: Singapura), dan mempunyai pengaruh kuat pada Riau Daratan yang meliputi Siak, Kampar dan Pelalawan hingga Kalimantan (Serawak dan Kalimantan Barat).
Dari pusat inilah perdagangan, dakwah Islam, sastra, dan kebudayaan Melayu berkembang pesat.
Pulau Penyengat menjadi jantung intelektualnya.
Di sanalah lahir ulama, pemikir, dan sastrawan besar Melayu.
Salah satu tokoh paling fenomenal adalah Raja Ali Haji (1801β1873), ulama, penasehat kesultanan, sejarawan, sastrawan, dan pelopor bahasa Melayu modern. Beliau menetap dan berkarya di Pulau Penyengat, pusat pemerintahan Kesultanan Riau Lingga.
Karya-karyanya seperti Bustanus Salatin (Taman Raja), Gurindam Dua Belas, dan Kitab Pengetahuan Bahasa Melayuβ* menjadi fondasi moral, akhlak, dan kebahasaan bangsa Melayu.
Gurindam Dua Belas bukan sekadar sastra, melainkan pedoman hidup, budi pekerti, dan tata nilai masyarakat Melayu.
Bahasa Melayu yang digunakan luas di Semenanjung MelayuΒ Thailand Selatan, Malaysia, TemasekΒ serta di Sumatera dan Kalimantan, kemudian disempurnakan oleh C.A. van Ophuijsen dan Guru Nawawi dari Sekolah Raja Bukittinggi
Dari sinilah lahir Bahasa Indonesia modern sebagai bahasa persatuan Nusantara.
Pusat Perdagangan, Dakwah, dan Armada Laut
Kesultanan Riau Lingga memiliki basis armada laut yang kuat di pulau Lingga dan berperan strategis dalam jalur perdagangan antara Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan.
Ia menjadi pusat perdagangan, kebudayaan, dan penyebaran Islam di Nusantara pada abad ke-18.
Secara tradisi, Kesultanan Melayu Kepulauan Riau Lingga memiliki keterkaitan erat dengan budaya Islam dari Kesultanan Malaka, Johor, dan Trengganu.
Hal ini berbeda dengan Melayu Daratan Sumatera yang lebih terkait pada tradisi lokal setempat dimana Kesultanan Siak berakar pada budaya kerajaan Sriwijaya, maupun Kesultanan Deli yang berakar pada budaya Kesultanan Aceh.
Perpecahan Wilayah dan Retaknya Perhatian
Sejarah politik kemudian memisahkan wilayah, tanpa memisahkan warisan dan tanggung jawab.
Setelah bergabung dalam negara kesatuan Republik Indonesia, Pembagian Propinsi Riau mencakup Riau Daratan dan Kepulauan Riau. Namun ketika Propinsi Kepulauan Riau berdiri sendiri, pengelolaan dana adat dan sosial dari Pemerintah Pusat masih terpusat pada Lembaga Adat Melayu (LAM) di Riau Daratan β lembaga turunan dari struktur Kesultanan Siak.
Akibatnya, warisan Kesultanan Riau Lingga di Pulau Penyengat dan Pulau Lingga menjadi seperti anak tiri sejarah
Istana dan gedung pemerintahan terbengkalai
Makam Raja Ali Haji kurang terawat
Pasar rakyat tak kunjung dibangun
Tempat Pelelangan Ikan (TPI) hanya tinggal rencana
Masyarakat Melayu yang hidup di pusat sejarahnya sendiri justru hidup dalam keterbatasan, tanpa sarana ekonomi rakyat dan tanpa perhatian sebagai DTW – Daerah Tujuan Wisata Sejarah dan Budaya.
Lembaga Adat atau Lembaga Proxy
Di sinilah luka sejarah itu terasa.
Ketika lembaga adat tidak lagi berdiri sebagai penjaga marwah budaya, melainkan menjadi perpanjangan tangan kekuasaan, maka adat kehilangan ruhnya.
Lingkaran kekuasaan yang dikuasai pemilik modal dan kepentingan politik telah membuat akar budaya Melayu mati suri.
Kesultanan Riau Lingga β simbol persatuan dan kejayaan Melayu β perlahan menghilang, digantikan lembaga-lembaga proxy yang jauh dari denyut rakyat dan nilai leluhur.
Cahaya dari Batam
Namun sejarah Melayu tidak pernah benar-benar mati.
Dari Batam, suara itu kembali bergema.
Melalui Radio Seila 104.7 FM, Lembaga Adat dan Tradisi Riau Lingga menggalang kepedulian, mengajak umat kembali melihat akar sejarahnya.
Bukan dengan amarah, bukan dengan perpecahan, melainkan dengan infak, sedekah, dan persatuan hati.
Suara radio itu melintasi batas negara, terdengar hingga Johor, Trengganu, dan Singapura.
Anak cucu Melayu di perantauan yang rindu tanah asal kembali terhubung melalui suara dan doa.
Di negeri Singapura yang membatasi qurban dan sedekah, Batam sudah menjadi jembatan amal.
Peluang jariyah terbuka pula bagi saudara dan kerabat dimanapun berada untuk menyalurkan infak nya kepada Lembaga Adat dan Tradisi Riau Lingga di Pulau Penyengat.
Pulau Penyengat menaruh harapan, untuk dibangunkan sarana dan prasarana dengan semangat mengembalikan budaya Melayu, sesuai dengan pedoman :
“Takkan Melayu Hilang di Bumi”
Janji Sejarah dan Harapan
Pada 17 Desember 2025, sebuah ikhtiar besar disepakati melalui MOU antara Lembaga Adat dan Tradisi Riau Lingga, KB APTSI Kepri, dan Radio Seila Batam.
Ini bukan sekadar dokumen, melainkan janji sejarah:
Menghidupkan kembali pusat Kebudayaan Riau Lingga
Membangun pasar rakyat dan TPI
Mengembalikan marwah Melayu
Menyejahterakan masyarakat Pulau Penyengat
Menjadikan Penyengat pusat kesenian, sastra, dan arsitektur Melayu Lingga
Mengembangkan pariwisata sejarah dan budaya
Duka dan Doa
Kisah ini ditulis dalam duka mendalam atas berpulangnya Tengku Fuad, penjaga warisan budaya Pulau Penyengat, guru dan pewaris Kesultanan Riau Lingga.
Beliau wafat pada Rabu, 24 Desember 2025, pukul 02.00 WIB.
Semoga Allah SWT mengabulkan cita-cita almarhum menjadikan Pulau Penyengat sebagai pusat budaya peradaban Melayu Lingga.
*Penutup β Seruan Anak Zaman*
Wahai anak cucu Melayu,
di mana pun kalian berada β di Johor, Trengganu, Singapura, maupun Nusantara.
Ingatlah:
Jika akar ditebang, pohon akan tumbang.
Jika sejarah dilupakan, bangsa akan hilang.
Mari kita jaga Pulau Penyengat,
karena di sanalah jantung Melayu pernah berdetak,
dan dari sanalah peradaban ini dahulu menerangi dunia.
Salam.
Oleh : Hendra Zon (Ketum KB APTSi)







