Rakyat Tanjungpinang Melawan: Taman Gurindam 12 Bukan Milik Oligarki!

1AA 70

TANJUNGPINANG | Go Indonesia.idβ€” Masyarakat Kota Tanjungpinang tak lagi diam. Skema pengelolaan Taman Gurindam 12 oleh pihak swasta selama 30 tahun melalui lelang diam-diam yang digagas Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dinilai sebagai bentuk pengkhianatan terhadap amanat rakyat. Ruang publik yang dibangun dari uang negara senilai lebih dari Rp500 miliar kini di ujung tanduk untuk dikuasai segelintir elite.

Dalam diskusi terbuka yang dihadiri elemen LSM, OKP, dan tokoh masyarakat, suara perlawanan mengeras. Mantan anggota DPRD Tanjungpinang, Gatot, secara lantang menyebut rencana itu sebagai bentuk nyata oligarki gaya baru β€” di mana ruang rakyat dikomersialisasi untuk kepentingan kekuasaan dan bisnis kelompok elite.

Bacaan Lainnya

Advertisement

β€œTaman Gurindam 12 itu dibangun dari uang rakyat. Kini mereka hendak menyerahkan pengelolaannya ke swasta selama 30 tahun tanpa melibatkan warga. Ini bukan pengelolaan, ini pengkhianatan,” tegas Gatot dalam diskusi.

Skema Licik di Balik Lelang 30 Tahun

Masyarakat menyebut skema lelang 30 tahun sebagai jebakan berbalut pembangunan. Tak ada sosialisasi, tak ada kajian terbuka, dan tak ada pelibatan warga. Semua dilakukan diam-diam, seolah Taman Gurindam 12 adalah properti pribadi elit birokrasi dan pemilik modal.

β€œJika benar-benar untuk rakyat, kenapa tak transparan dari awal? Kenapa bukan Pemkot yang kelola? Kenapa tidak diberikan ke BUMD? Jawabannya jelas: karena mereka ingin ruang publik ini jadi mesin uang kelompok tertentu,” ujar salah satu aktivis LSM.

Rakyat Bergerak: RDP atau 1.000 Orang Turun ke Jalan

Forum masyarakat telah sepakat menyurati DPRD Provinsi Kepri untuk menggelar rapat dengar pendapat (RDP) pada 24 September 2025. Tujuannya satu: hentikan privatisasi Taman Gurindam 12.

Jika permintaan itu diabaikan, masyarakat akan turun ke jalan dengan aksi damai 1.000 orang di depan kantor DPRD Kepri dan Kantor Gubernur. Mereka bersumpah tidak akan membiarkan ruang hidup dan hak rakyat diperdagangkan seenaknya.

β€œIni bukan sekadar taman. Ini simbol. Jika mereka bisa jual Gurindam 12, besok lusa mereka bisa jual pelabuhan, pasar, sekolah, bahkan laut kita,” ujar perwakilan OKP.

Gubernur Ansar Ahmad Disorot: Dengarkan Rakyat atau Hanya Elite?

Gubernur Kepri, Ansar Ahmad, menjadi sorotan utama dalam kisruh ini. Komentar-komentarnya di media dinilai tidak menjawab substansi masalah. Tidak ada jaminan keterbukaan, tidak ada komitmen perlindungan ruang publik.

β€œGubernur harus menentukan sikap. Berpihak pada rakyat atau pada investor dan para makelar lahan. Jangan berlindung di balik retorika pembangunan sambil menggadaikan ruang publik,” tegas Gatot.

Ruang Publik adalah Hak, Bukan Komoditas

Taman Gurindam 12 seharusnya menjadi ruang terbuka bagi rakyat untuk rekreasi, seni budaya, dan kegiatan UMKM. Tapi kini, justru terancam berubah menjadi ruang komersial eksklusif, dengan hak rakyat yang dibatasi, bahkan dihilangkan.

β€œKita tidak menolak pembangunan. Tapi jika pembangunan itu menjauhkan rakyat dari haknya, itu bukan pembangunan. Itu penjarahan terselubung,” kata salah satu akademisi yang hadir.

Kesimpulan: Lawan Penguasaan Elite, Lindungi Hak Publik

Gerakan penolakan privatisasi Gurindam 12 kini menjadi simbol perlawanan rakyat kecil terhadap kekuatan modal dan kekuasaan yang bersekutu di balik nama pembangunan. Pertanyaan besarnya: masih adakah ruang untuk rakyat dalam kebijakan publik, atau semuanya akan jatuh ke tangan oligarki?

Tanjungpinang bicara. Kini giliran pemerintah mendengar. Jangan tunggu sampai rakyat harus berteriak di jalan.

 

Reporter: Edy
Editor: Go Indonesia.id


Advertisement

Pos terkait