BATAM | Go Indonesia.id โ Pulau Rempang kembali menjadi sorotan nasional. Namun, kali ini bukan karena isu penggusuran lahan adat seperti yang sempat mencuat pada tahun 2023 lalu, melainkan karena rencana pembangunan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung di atas perairan Rempang. Proyek ini disebut-sebut sebagai bagian dari program ekspor energi bersih Indonesia ke Singapura.
Meski terdengar menjanjikan dari sisi ekonomi dan lingkungan, proyek ini justru memantik tanya dari kalangan adat dan pemerhati budaya: Apakah pembangunan ini hanya soal kilowatt dan dollar, atau juga menyangkut warisan identitas, ruang hidup, dan marwah masyarakat Melayu?
Suara Melayu Mulai Layu di Kursi Kekuasaan
Ironisnya, di tengah gegap gempita pembangunan, suara-suara dari para tokoh Melayu yang duduk di struktur pemerintahan justru makin samar. Padahal, lebih dari 80% pejabat di Kepulauan Riau berlatar belakang etnis Melayu.
> โPejabat 80% Melayu, tapi setelah menjabat, jadi layu,โ sindir seorang tokoh adat dari Pulau Bintan.
โDulu suara garang melebihi harimau, sekarang penuh alasan: takut kualat, takut menyinggung,โ lanjutnya.
Kritik ini menyasar pada sikap pasif para pemangku jabatan yang dianggap lebih sibuk menjaga relasi kuasa ketimbang memperjuangkan marwah rakyat yang mereka wakili.
Mana Bugis? Saatnya Bangkit Bersama Melayu
Sejarah mencatat bahwa Melayu dan Bugis adalah dua etnis serumpun yang telah berbagi ruang hidup, perjuangan, dan kepemimpinan di Kepulauan Riau sejak ratusan tahun silam. Maka ketika tanah dan identitas kembali dipertaruhkan, wajar jika muncul pertanyaan:
> โMana Bugis? Sudah saatnya bangkit bahu membahu dengan Melayu. Tegakkan kebenaran, lawan kezoliman. Jangan ikut menzolimi. Kita bisa kualat pada nenek moyang yang terkubur di tanah Melayu ini,โ ucap seorang pemerhati budaya.
Antara Simbol dan Substansi: Budaya yang Kehilangan Daya
Di tengah memanasnya isu Rempang, acara budaya seperti Haul Sultan Abdulrahman Muโadzam Syah di Penyengat justru kehilangan daya dorong strategis. Acara yang sejatinya dapat menjadi panggung konsolidasi budaya dan perlawanan, kini hanya menjadi seremoni tahunan yang dihadiri oleh sedikit tokoh sentral.
> โTiada tokoh Melayu yang hadir bukan berarti tidak sepakat. Tapi jangan sampai budaya kehilangan daya karena sibuk menjadwalkan kesibukan,โ sentil seorang budayawan.
Budaya, jika hanya dijalankan dalam bentuk upacara tanpa perlawanan, tak lebih dari formalitas yang kehilangan roh perjuangan.
Pembangunan Tanpa Ruh Budaya = Konflik
Dr. Rizal Rahim, pakar budaya dari Universitas Maritim Raja Ali Haji, mengingatkan bahwa kearifan lokal bukan penghambat pembangunan, melainkan mekanisme alami masyarakat untuk menjaga harmoni antara manusia, alam, dan kekuasaan.
> โJika pembangunan mengabaikan ini, maka yang lahir adalah ketimpangan, konflik, dan hilangnya identitas,โ tegasnya.
Ia juga menekankan bahwa perairan Rempang bukan sekadar lokasi kosong, melainkan ruang hidup spiritual yang menyimpan nilai ekologis tinggi. โMembangun tanpa menghitung ruh budaya adalah seperti membangun rumah tanpa pondasi,โ pungkasnya.
Kolonialisme Energi Gaya Baru?
Ir. Baharuddin Saleh, pengamat kebijakan energi dan lingkungan, menyebut proyek PLTS terapung untuk ekspor sebagai ide besar, namun harus dikawal dengan pertanyaan mendasar:
> โSiapa pemilik lahan perairan? Bagaimana kompensasi sosialnya? Apakah masyarakat lokal dilibatkan dalam manfaat ekonominya? Jika tidak, maka ini hanyalah bentuk kolonialisme energi gaya baru.โ
Ia juga menyarankan agar pembangunan energi skala besar lebih tepat ditempatkan di pulau-pulau terluar seperti Pulau Nipah, yang strategis secara geopolitik dan jauh dari ruang hidup masyarakat adat.
Budaya, Pilar Terakhir Perlawanan
Dengan nada satire, Tengku Muhammad Fuad, seorang budayawan Melayu, mengingatkan:
> โBarang siapa berbaik-baik sangat dengan pejabat, walau pun bodoh dianggap hebat. Barang kali dia tak bodoh, dia hanya pejabat yang selalu dipandang hebatโฆโ
Fuad menegaskan bahwa budaya adalah benteng terakhir dalam mempertahankan hak dan marwah. โMelayu tidak hilang. Meski kayu diukir pahat, takkan besi disepuh emas. Meski terdesak, Melayu masih punya harga, marwah, dan semangat mempertahankan yang benar,โ tandasnya.
Reporter: Edy
Editor: Redaksi Go Indonesia