BATAM | Go Indonesia.id— Tragedi 11 September 2023 di depan Gedung BP Batam bukan sekadar bentrokan warga dan aparat. Bagi Sasjoni, salah satu dari 34 tahanan peristiwa tersebut, tragedi itu adalah cermin telanjang bagaimana negara memilih jalur represif ketimbang membuka ruang dialog, mengorbankan sejarah panjang dan hak adat masyarakat Melayu Rempang demi proyek strategis nasional Rempang Eco-City.
“Belajar dari Pati tidak cukup. Luka Batam jauh lebih dalam,” tegas Sasjoni, menolak penyamaan kasus ini dengan konflik di daerah lain yang hanya menyoal harga diri pejabat. (15/8/25)
Menurutnya, yang dipertaruhkan di Batam adalah kelangsungan tanah adat Melayu, identitas budaya, dan hak hidup ribuan warga—bukan sekadar persoalan administrasi atau kebijakan lokal.
Penolakan terhadap proyek Rempang Eco-City berakar pada ketidakjelasan status lahan. Penelitian Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mengungkap, hingga kini Rempang belum diklasifikasi tegas sebagai tanah adat atau tanah negara.
Kekosongan definisi ini menciptakan ketidakpastian hukum yang rawan melanggar hak asasi manusia.
UMM menegaskan, perlindungan masyarakat adat hanya bisa dicapai melalui inventarisasi menyeluruh, mencakup hak kontrol, kepemilikan, penggunaan, dan manfaat tanah.
Praktisi hukum agraria Universitas Gadjah Mada (UGM), Evander Nathanael Ginting, menilai konflik Rempang adalah akumulasi masalah hak tanah, pelanggaran HAM, dan tekanan investasi.
Masyarakat Melayu telah menghuni Rempang lebih dari dua abad, menjadikannya warisan kolektif tak ternilai. Namun di tengah klaim adat, pemerintah justru menerbitkan hak guna usaha (HGU) untuk industri, tanpa kejelasan batas kewenangan antara BP Batam dan hak tradisional warga.
Ahli kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai pola kebijakan pemerintah justru memperburuk situasi.
Penangkapan sewenang-wenang, pemasangan pos keamanan, dan minimnya transparansi publik telah menutup pintu dialog, memperlebar jarak antara rakyat dan pengambil kebijakan.
Peneliti ISEAS–Yusof Ishak Institute, Siwage Dharma Negara, menyebut pembangunan Rempang terlalu cepat, sentralistik, dan minim partisipasi warga.
Proyek yang digadang-gadang mendongkrak ekonomi justru berisiko memicu resistensi berkepanjangan jika masyarakat tak dilibatkan sejak awal.
Pandangan para akademisi ini sejalan dengan pernyataan Sasjoni. Baginya, penahanan yang dialaminya bukan sekadar kriminalisasi, tetapi bukti kegagalan negara merespons jeritan rakyat dengan dialog.
Proyek yang memutus akar budaya, tegasnya, akan melahirkan luka sosial lebih dalam daripada kerugian materi.
“Kalau mau belajar, belajarlah dari Batam,” ujarnya. “Di sini terlihat jelas akibat ambisi pembangunan yang mengabaikan sejarah, hak adat, dan kesadaran budaya.
Luka yang lahir bukan sekadar goresan, tapi sayatan di tubuh sejarah dan identitas bangsa.”
Reporter: Edy