Tragedi Rempang: Luka Menganga dari Ketidakjelasan Status Tanah dan Pengabaian Hak Adat

IMG 20250815 WA0056

REMPANG, BATAM | Go Indonesia.id – Tragedi 11 September 2023 masih membekas sebagai peringatan pahit tentang bagaimana kekuasaan yang mengabaikan sejarah dan hak rakyat dapat memantik perlawanan besar.(15/8/25).

Sasjoni, salah satu dari 34 tahanan aksi demonstrasi di depan Gedung BP Batam, menegaskan bahwa peristiwa itu bukan sekadar insiden, melainkan simbol penindasan terhadap tanah adat Melayu dan hak hidup ribuan warga Rempang.

Bacaan Lainnya

Advertisement

“Pengalaman ditahan bukan sekadar cerita pribadi. Ini bukti negara lebih memilih langkah represif ketimbang membuka ruang dialog,” tegas Sasjoni dengan nada keras.

Ia membandingkan kasus Rempang dengan konflik agraria di Pati, Jawa Tengah, namun menilai luka di Batam jauh lebih dalam. Alasannya jelas: yang dipertaruhkan bukan hanya lahan, tetapi sejarah panjang, identitas budaya, dan masa depan generasi Melayu.

Menurutnya, ketidakjelasan status tanah serta lemahnya penegakan hak adat adalah akar penderitaan kolektif masyarakat Rempang.

“Mempertahankan hak adalah kewajiban moral. Bangsa yang dirampas haknya akan selalu mencari cara untuk merebutnya kembali,” ujarnya.

Suara ini menegaskan bahwa perlawanan warga Rempang bukan sekadar emosi sesaat, melainkan jeritan panjang akibat kebijakan yang menutup mata terhadap kebenaran sejarah dan hak rakyat.

Reporter: Edy


Advertisement

Pos terkait