KUANSING | Go Indonesia.Id – Pernyataan provokatif seorang warga bernama Sugianto terhadap jurnalis Athia, warga asal Nias yang kini berdomisili di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Riau, memantik reaksi keras. Ucapan bernada SARA yang disebarkan lewat status WhatsApp dan pesan pribadi itu dinilai melecehkan profesi jurnalis sekaligus melanggar hukum.
Athia, yang dikenal sebagai wartawan sekaligus Redaksi Media IntelijenJendral.com, dengan tegas menyatakan bahwa dirinya akan menempuh jalur hukum apabila Sugianto tidak segera memberikan klarifikasi terbuka atas pernyataannya.
“Saya merasa sangat menyayangkan ucapan Sugianto yang menuduh saya membuat onar dan kegaduhan. Tuduhan itu tidak benar. Jika tidak segera diklarifikasi, saya akan menempuh jalur hukum,” tegas Athia, Rabu (5/11/2025).
Athia mengungkapkan, tuduhan itu bermula dari pesan WhatsApp yang dikirim Sugianto pada Selasa sore (4/11/2025). Dalam pesannya, Sugianto menyebut dirinya menolak pendatang yang membuat onar di Kuansing dan mengaku tidak menyukai kehadiran Athia karena perbedaan suku.
Bagi Athia, pernyataan seperti itu tidak hanya menghina pribadi, tetapi juga mengandung unsur kebencian berdasarkan SARA yang bisa menimbulkan perpecahan sosial di tengah masyarakat.
“Saya ini warga negara Indonesia yang sah. Kuansing adalah bagian dari Republik Indonesia, bukan milik pribadi siapa pun. Saya pun tidak tinggal di rumah atau kebun milik Sugianto,” tegasnya.
Athia menilai pernyataan Sugianto telah melampaui batas kewajaran dan mencoreng semangat kebersamaan antarwarga. Sebagai jurnalis, dirinya bekerja sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan dilindungi oleh hukum.
“Tidak sepantasnya seseorang berbicara demikian kepada saya, apalagi dengan membawa isu suku dan daerah,” ujarnya.
Athia menegaskan, jika Sugianto tidak memberikan klarifikasi, ia akan melapor ke aparat penegak hukum dengan dasar hukum yang kuat.
Menurutnya, ucapan yang disebarkan melalui media elektronik dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang menyebut :
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Selain itu, perbuatan tersebut juga dapat dijerat dengan Pasal 310 dan 311 KUHP tentang pencemaran nama baik dan fitnah, dengan ancaman pidana penjara hingga 4 tahun.
Athia berharap aparat penegak hukum, termasuk Polres Kuansing, dapat menindaklanjuti kasus ini secara objektif agar tidak menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers dan kerukunan masyarakat.
“Sebagai jurnalis, saya bekerja berdasarkan fakta dan kode etik. Jika ada pihak yang merasa dirugikan, sampaikan dengan cara santun, bukan dengan ujaran kebencian,” tutupnya.
Pakar Hukum Internasional dan Ekonom, Prof. Dr. KH. Sutan Nasomal, S.Pd.I, SE, SH, MH, LLB, LLM, Ph.D, turut menyoroti kasus ini. Ia menegaskan bahwa ujar kebencian berbasis SARA dan penghinaan terhadap profesi jurnalis tidak bisa ditolerir.
“Dalam negara hukum, tidak boleh ada warga yang merasa lebih berhak atas suatu Daerah. Setiap ucapan yang mengandung unsur kebencian dan diskriminasi dapat dijerat pidana. Kebebasan pers harus dijaga, dan siapa pun yang merendahkan profesi jurnalis harus siap menghadapi konsekuensi hukum,” tegas Prof. Sutan.(*)
REDAKSI




