PEKANBARU | Go Indonesia.id – Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, sebagaimana termaktub dalam Pancasila, tampaknya masih menjadi retorika belaka. Kasus Dolly Handika, anak anggota DPRD Riau dari fraksi PKB bernama Kasir ST, menjadi sorotan Publik karena dugaan kuat adanya perlakuan istimewa dalam proses Hukum.
Mengutip RiauOnline (Jumat, 2 Februari 2024), Dolly yang terbukti melakukan penganiayaan terhadap Yogi, seorang honorer Bappeda Kota Pekanbaru, dibebaskan dari tahanan setelah melalui proses Hukum yang dianggap mencederai keadilan.
Dalam kasus tersebut, meski telah terbukti melakukan tindakan penganiayaan, Dolly menikmati kebebasan yang dianggap sebagai hasil dari sistem Hukum yang dapat “dibeli”.
Setelah bebas, Dolly mengirim pesan bernada ancaman kepada kuasa Hukum korban, Donny Warianto. Dalam pesan tersebut, Dolly dengan lantang menegaskan :
“Aku tidak pernah takut sama kau. Aku menunduk minta maaf bukan berarti aku takut. Jangan pernah kau buat malu orang tuaku. Aku tidak takut masuk penjara, kau ingat itu baik-baik.”
Kasus ini menciptakan keresahan di masyarakat, terutama karena terlihat jelas perbedaan perlakuan Hukum terhadap Dolly dibandingkan dengan kasus lainnya.
Sebagai perbandingan, di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, seorang petani berinisial AU ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan atas kasus penganiayaan berat sesuai Pasal 351 ayat (1) dan (2) KUHP.
Praktisi Hukum Andar Situmorang SH, MH, menyoroti adanya penyimpangan dalam kasus Dolly. Ia menjelaskan bahwa sesuai Surat Edaran Kapolri Nomor 8 Tahun 2018, pendekatan restorative justice hanya dapat diterapkan jika memenuhi syarat formil dan materiil. Dalam kasus Dolly, hal tersebut tidak terpenuhi karena telah menimbulkan keresahan Publik.
“Menurut yurisprudensi, penganiayaan adalah perbuatan yang sengaja menyebabkan penderitaan, rasa sakit atau luka. Ini adalah delik biasa yang harus diproses meskipun korban mencabut laporannya,” jelas Andar.
Andar juga mengingatkan bahwa kasus penganiayaan memiliki masa kedaluwarsa hingga 12 tahun. Oleh karena itu, ia mendesak Kapolda Riau untuk memerintahkan Polresta Pekanbaru melanjutkan proses Hukum terhadap Dolly Handika.
“Daluwarsa masa penuntutan tidak boleh menjadi alasan menghentikan kasus ini. Aparat penegak Hukum harus menjalankan tugasnya secara TEGAS untuk menjamin kepastian Hukum sesuai amanat konstitusi Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” tegas Andar.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa penegakan Hukum yang adil adalah tanggung jawab Negara. Publik berharap agar supremasi Hukum ditegakkan tanpa memandang status sosial, demi menciptakan keadilan bagi seluruh Rakyat Indonesia.(*)
*Redaksi*