TANJUNGPINANG | Go Indonesia.id — Ketegangan antara pemerintah dan masyarakat adat di Pulau Rempang belum juga mereda.
Di tengah luka sosial akibat penggusuran dan intimidasi aparat, Badan Pengusahaan (BP) Batam justru kembali melontarkan wacana ekspansi ke 124 pulau sekitar Batam, yang memicu kekhawatiran baru soal masa depan masyarakat pesisir dan adat di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).
Salah satu tokoh yang bersuara lantang menentang kebijakan tersebut adalah Ir. H. M. Nazar Machmud, tokoh sentral dalam pembentukan Provinsi Kepri. (19/7/27)
Dalam keterangannya, Nazar menyebut proyek Rempang Eco City sebagai bentuk pengkhianatan terhadap masyarakat adat Rempang dan nilai-nilai budaya Melayu.
> “Yang terjadi bukan sekadar penggusuran, tapi perampasan identitas, sejarah, dan harga diri orang Melayu,” tegasnya.
Sebagai Penasihat Badan Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau (BP3KR), Nazar menilai bahwa semangat perjuangan 15 Mei 1999 — deklarasi pembentukan Kepri — telah disimpangkan.
Harapan akan pemerintahan daerah yang mempercepat kesejahteraan masyarakat lokal, pesisir, dan adat kini berubah menjadi proyek-proyek besar yang menjauh dari aspirasi rakyat.
Lebih lanjut, Nazar mengecam peran BP Batam yang disebutnya menjelma seperti “VOC versi modern.”
> “Apa bedanya BP Batam dengan VOC? Sama-sama menjajah, mengatur wilayah yang sebenarnya punya hak untuk mengatur rumah tangganya sendiri,” ujarnya.
Komitmen Nazar bukan sekadar retorika. Ia bahkan mengutus putrinya, Nina Nazar, yang juga Sekretaris BP3KR di Jakarta, untuk berdialog langsung dengan masyarakat, terutama para ibu-ibu di Rempang — sebagai bentuk nyata keberpihakan terhadap rakyat.
Krisis Kepemimpinan dan Diamnya Elite Daerah
Kritik terhadap elite Kepri juga disampaikan pengamat politik Universitas Maritim Raja Ali Haji, Dr. Muhammad Iskandar. Ia menilai, krisis daerah hari ini diperparah oleh absennya pemimpin visioner yang berpihak pada rakyat.
> “Banyak kepala daerah dan anggota DPRD yang bermental pembebek, tunduk pada kehendak pusat tanpa memperjuangkan aspirasi lokal,” katanya.
Iskandar mencontohkan perbandingan dengan Aceh, di mana pemimpinnya berani bersuara membela masyarakat adat tanpa melawan pemerintah pusat.
Ia menilai pembelaan terhadap hak rakyat dalam bingkai NKRI adalah bentuk tanggung jawab konstitusional, bukan makar.
Pembangunan Tak Berbasis Karakter Wilayah
Prof. Erna Sari Dewi dari CSIS turut menyoroti lemahnya arah pembangunan daerah. Menurutnya, elite Kepri tak memiliki peta jalan pembangunan yang sesuai dengan karakteristik wilayah kepulauan.
> “Kepri seharusnya dibangun dengan basis kelautan dan komunitas pesisir. Tapi studi-studi strategis seperti yang ditawarkan ILGOS (Institute for Local Government Studies) tidak pernah dilirik,” ujarnya.
Nazar pun mengamini kritik tersebut. Ia menyayangkan minimnya kepala daerah yang mau mengundang ahli untuk merancang strategi jangka panjang yang berpihak pada masyarakat.
> “Kita punya ilmu, punya peta jalan, tapi tidak dimanfaatkan. Jangan terlalu berharap pada pemimpin formal Kepri,” ujarnya.
Seruan Bangkitkan Kesadaran Sipil
Di tengah kekecewaan terhadap elite politik, Nazar justru melihat harapan pada kebangkitan masyarakat sipil. Ia menyerukan kepada generasi muda, akademisi, komunitas adat, dan warga biasa untuk mengambil peran dalam menentukan masa depan Kepri.
> “Kepri ini milik rakyat, bukan milik investor atau elite partai. Yang penting bukan panggung politik, tapi kesadaran bersama,” katanya.
Nazar menutup refleksinya dengan prinsip hidup yang ia pegang: SIS — Sabar, Ikhlas, dan Syukur. Bagi Nazar, prinsip ini bukan sekadar nasihat, tetapi strategi bertahan dalam gelombang ketidakadilan.
Tantangan terbesar Kepri ke depan, menurut Nazar, bukan hanya menolak ekspansi BP Batam, tetapi mengembalikan arah pembangunan provinsi ini ke jalur perjuangan semula: kesejahteraan rakyat, kehormatan budaya, dan kedaulatan ruang hidup masyarakat lokal.
Reporter: Edy
Editor: Redaksi Go Indonesia