TANJUNGPINANG | Go Indonesia.id – Dalam rangka memperingati 23 tahun terbentuknya Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), Yayasan Badan Perjuangan Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau (BP3KR) menggelar peringatan “Hari Marwah Kepulauan Riau”. Kegiatan ini bukan sekadar seremoni, melainkan panggung refleksi kritis terhadap perjalanan provinsi ini sejak lahir dari rahim perjuangan rakyat.
Ketua Yayasan BP3KR, H. Huzrin Hood, membuka acara dengan pidato penuh makna sejarah, kritik sosial, dan harapan masa depan. Ia mengulas panjang perjalanan Kepri sejak masa kejayaan Kesultanan Melayu hingga perjuangan melawan kolonialisme. Huzrin menegaskan bahwa nilai-nilai perjuangan masa lalu seharusnya menjadi fondasi moral pemimpin hari ini—bukan sekadar narasi romantik dalam buku sejarah.
“Kepri ini lahir dari keringat rakyat. Dari semangat untuk lebih dekat dengan kekuasaan, agar kesejahteraan tak lagi jadi angan. Tapi lihatlah hari ini, kita harus berani bertanya: sudah sejauh mana cita-cita itu tercapai?” tegasnya.
Huzrin mengkritik keras kondisi sosial Kepri saat ini—tingkat kemiskinan dan pengangguran yang masih tinggi serta ketimpangan pembangunan antarwilayah. Ia menyebut kegagalan pemerintah dalam menjawab amanah rakyat sebagai tanda bahwa semangat awal pembentukan provinsi belum sepenuhnya diwujudkan.
Peringatan ini juga diisi dengan seminar dialog interaktif yang dipandu oleh Chaidar Rahmat. Forum tersebut menjadi ruang terbuka bagi tokoh masyarakat, akademisi, dan warga untuk menyuarakan gagasan dan unek-unek mereka.
Salah satu suara yang mencuri perhatian datang dari H. Alfian Suhairi. Ia menyoroti potensi maritim Kepri yang luar biasa—96 persen wilayahnya adalah lautan, namun belum dimanfaatkan secara optimal. Ia mendorong pembangunan sektor kelautan seperti perikanan, pariwisata bahari, dan eksplorasi migas dengan pendekatan yang berkelanjutan.
Alfian mengusulkan strategi konkret: pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) pariwisata, pembangunan pelabuhan peti kemas Labuan Kargo, serta penundaan proyek Jembatan Barelang yang dianggap belum mendesak. Ia juga menolak gagasan pembentukan Provinsi Anambas dan menentang praktik tambang darat yang berpotensi merusak lingkungan.
Namun, momen paling menggetarkan datang dari Syaid Ubaidillah, perwakilan Lembaga Adat Kesultanan Riau-Lingga dari Batam. Dengan suara bergetar, ia menyuarakan keprihatinan mendalam atas nasib masyarakat adat yang terpinggirkan dan terusir dari tanah leluhur mereka.
“Mereka punya hak atas lingkungan, atas kuburan nenek moyang, atas tempat mereka mencari makan. Kalau kita diam, maka masa depan anak cucu kita akan hancur,” ujar Syaid, seraya mengungkapkan bahwa masyarakat adat di Rembang kini sedang melakukan aksi protes di depan kantor Badan Pertanahan Nasional.
Syaid mendesak agar isu tanah adat dimasukkan dalam agenda prioritas pembangunan Kepri. Baginya, masyarakat adat bukan sekadar simbol budaya, melainkan benteng terakhir kelestarian alam dan identitas Kepri.
Peringatan Hari Marwah Kepri tahun ini bukan hanya tentang mengenang sejarah. Ini adalah panggilan untuk kembali ke akar perjuangan: menghadirkan keadilan dan kesejahteraan yang merata. Kritik para tokoh bukan untuk menjatuhkan, tetapi untuk membangunkan kesadaran kolektif: bahwa perubahan hanya mungkin terjadi jika suara rakyat benar-benar didengar dan dijadikan landasan kebijakan.
Menutup acara, H. Huzrin Hood memanjatkan doa agar Kepri kembali ke marwahnya—tegak berdiri di atas semangat perjuangan rakyat, bukan tenggelam dalam janji-janji kosong kekuasaan.
Reporter ; Sudirmanto