NATUNA | Go Indonesia.id_Hilangnya pasokan minyak bersubsidi bagi nelayan kecil di Kabupaten Natuna memunculkan tanda tanya besar. rabu (29/10/25).
Hasil investigasi lapangan yang dilakukan tim media menemukan dugaan kuat bahwa solar subsidi milik nelayan “tersedot” oleh aktivitas kapal ikan berkapasitas besar dari luar daerah, yang bebas beroperasi di perairan Natuna.
Praktik semacam ini diduga bukan hal baru. Aktivitas kapal-kapal besar tersebut sudah berlangsung lama dan seolah dibiarkan tanpa pengawasan ketat dari pihak berwenang.
Sejumlah warga menilai fenomena ini seperti “permainan lama yang tak pernah usai,” di mana keuntungan besar justru mengalir ke pihak-pihak yang tidak berhak.
Sudah lama mereka main di laut sini, tapi tidak pernah ada tindakan. Mereka seperti punya kekuasaan sendiri,” ujar salah satu warga dari wilayah Kecamatan Pulau Tiga dan Pulau Tiga Barat, yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Dugaan makin menguat setelah tim media memperoleh percakapan WhatsApp berisi penawaran BBM jenis solar bersubsidi dengan harga sekitar Rp10.000 hingga Rp11.000 per liter, untuk volume mencapai 50 ribu liter.
Dalam pesan itu, pelaku disebut meminta pasokan minyak dari Natuna dengan harga subsidi, lalu dijual kembali ke kapal-kapal besar dengan harga di bawah pasar dan pengiriman cepat indikasi kuat adanya jaringan jual-beli minyak ilegal yang telah terorganisir di wilayah perbatasan.
Dari hasil penelusuran, para pemain ini diduga membeli minyak nelayan di SPBUN seharga Rp6.800 per liter, menggunakan rekomendasi bodong atau rekomendasi nelayan yang telah digadaikan.
Minyak tersebut kemudian dijual kembali kepada kapal-kapal ikan luar daerah, seperti kapal cantrang dan lengkong, melalui perantara dengan harga Rp10.000 per liter.
Padahal, kapal-kapal luar daerah seharusnya menggunakan solar industri, bukan solar bersubsidi.
Namun karena harga solar industri jauh lebih tinggi mencapai Rp18.000 hingga Rp21.000 per liter banyak pihak tergiur menggunakan solar subsidi hasil permainan ilegal di lapangan.
Ironisnya, nelayan lokal justru menjadi korban dari praktik kotor ini. Kapal besar dengan modal kuat memanfaatkan celah sistem distribusi, sementara nelayan kecil terjepit oleh langkanya pasokan dan mahalnya harga BBM.
Akibatnya, banyak nelayan memilih berhenti melaut karena biaya operasional yang melonjak tajam.
Minyak langka, harga tinggi, sementara kapal besar dari luar justru leluasa beroperasi. Kalau begini terus, nelayan kecil bisa mati pelan-pelan,” keluh seorang nelayan di wilayah Natuna bagian selatan
Fenomena ini menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap distribusi BBM bersubsidi di wilayah perbatasan.
Publik mendesak aparat penegak hukum, KSOP, dan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) agar segera bertindak tegas menutup ruang permainan mafia minyak yang merugikan negara dan rakyat kecil.
Negara harus hadir di laut Natuna, bukan hanya dengan kapal patroli, tapi dengan keberpihakan nyata kepada nelayan kecil. Jangan sampai laut dikuasai oleh mafia minyak dan kapal asing berkedok lokal,” tegas seorang aktivis maritim setempat.
Mafia Minyak Masih Bebas Bergerak
Kasus ini menjadi cerminan betapa rapuhnya sistem pengawasan sumber daya di daerah strategis seperti Natuna.
Jika praktik ini terus dibiarkan, bukan hanya nelayan yang dirugikan, tetapi juga kedaulatan ekonomi Indonesia di wilayah perbatasan bisa tergadaikan.
Hingga berita ini diturunkan, tim media masih memantau aktivitas pengangkutan dan penyaluran solar bersubsidi secara ilegal dari sejumlah SPBU dan SPBUN di wilayah Natuna. Para pemain minyak ilegal itu masih bebas beroperasi, seolah kebal hukum.
Reporter : Baharullazi







