LINGGA | Go Indonesia.id_ Proses pelelangan proyek Pemasangan Dermaga Apung HDPE Pelabuhan Jagoh di Kabupaten Lingga kembali menjadi sorotan. Dugaan pelanggaran dalam dokumen lelang dan indikasi praktik tidak sehat di balik pelelangan tersebut mencuat ke permukaan, setelah adanya laporan dari sejumlah pihak yang menilai bahwa proses tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Menurut penjelasan Ir. Dianoc Rica, MH—Asesor Penilai dan mantan Ketua LPJKP Kepri periode 2015-2020—dalam dokumen lelang proyek dermaga apung ini, terdapat persyaratan teknis yang mengharuskan pelaksana lapangan memiliki pendidikan minimal S1 dan pengalaman 2 tahun dengan SKT (Surat Keterangan Terampil) khusus untuk pekerjaan jembatan. Namun, berdasarkan Surat Edaran Nomor 05/SE/M/2022, SKK (Sertifikat Keahlian Kerja Konstruksi) yang masih berlaku hingga 31 Desember 2022 seharusnya digunakan sebagai dasar dalam kontrak kerja konstruksi.
“Dalam Berita Acara Pengadaan dan Pemasangan Dermaga Apung yang diterbitkan Pokja Paket 060 tanggal 8 September 2025, tidak ada perubahan penggunaan SKT Pelaksana Lapangan. Hal ini menunjukkan adanya kesalahan dalam proses administrasi pelelangan,” kata Dianoc.
Dalam Pasal 66 dan 67 Peraturan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, ditegaskan bahwa jika terjadi kesalahan dokumen pemilihan atau ketidaksesuaian dengan aturan, maka pelelangan harus dinyatakan gagal dan dilakukan ulang dengan mengundang calon penyedia sebelumnya.
Dengan demikian, Pokja 60 seharusnya melakukan pelelangan ulang agar tercipta iklim usaha yang sehat dan terbebas dari praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Pernyataan senada datang dari Andry Amsy, tokoh muda Kepri, yang mengkritik Kepala ULP Kepri, Aswandi, karena dianggap menutup mata terhadap persoalan ini.
Andry menilai seharusnya Aswandi segera memanggil Pokja 60 untuk mengklarifikasi permasalahan tersebut. Ketidaksinkronan penggunaan SKT dan SKK dalam pelelangan di satu bidang pelabuhan yang sama menunjukkan adanya masalah serius dalam tata kelola pelelangan ULP Kepri.
Laporan lain yang diterima menyebutkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, ULP Kepri diduga dikuasai oleh oligarki yang melibatkan pengusaha dekat salah satu keluarga pejabat tinggi Kepri berinisial ABD, serta pengusaha lain berinisial LMY dan ABN.
Mereka diduga secara terang-terangan memenangkan pelelangan dengan nilai miliaran rupiah yang dilakukan ULP Kepri. Lebih parah lagi, diduga mereka sudah mendapatkan hasil reviu dari inspektorat sebelum pelelangan, sehingga prosesnya sudah “terkondisikan” dan jauh dari prinsip transparansi serta keadilan.
Andry menantang Kepala ULP Kepri untuk berani membuka hasil pelelangan kepada saksi independen guna membuktikan proses yang bersih dan transparan.
Jika tidak, pihaknya tidak segan menempuh jalur hukum melalui PTUN dan melaporkan dugaan tindak pidana korupsi kepada aparat penegak hukum.
“Jika pelelangan ini terus dilanjutkan tanpa perbaikan, kami akan melakukan class action demi menegakkan keadilan dan transparansi,” tegas Andry.
Berita ini menjadi peringatan keras bagi ULP Kepri dan para pejabat terkait untuk segera menata ulang mekanisme pelelangan demi menjaga kepercayaan publik dan integritas pembangunan di wilayah Kepri.
Reporter: Edy