Penertiban Tanah Terlantar Jadi Langkah Strategis Reforma Agraria

IMG 20250724 WA0048

JAKARTA | Go Indonesia.id β€” Pemerintah melalui Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Nusron Wahid, menyampaikan rencana penertiban tanah terlantar sebagai bagian dari upaya percepatan reforma agraria dan pencegahan monopoli penguasaan lahan.(24/7/25).

Langkah ini dinilai strategis karena secara historis penertiban tanah terlantar telah menjadi agenda nasional sejak reformasi bergulir. Pemerintah sebelumnya telah menerbitkan beberapa regulasi terkait, mulai dari PP No. 38 Tahun 1998, PP No. 11 Tahun 2010, hingga PP No. 21 Tahun 2021. Semuanya bertujuan menertibkan dan mendayagunakan kawasan serta tanah yang ditelantarkan.

Bacaan Lainnya

Advertisement

Upaya penertiban ini juga merupakan amanat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, yang menekankan pentingnya fungsi sosial tanah.

Negara wajib memastikan bahwa tanah digunakan secara produktif untuk mendukung kesejahteraan rakyat dan mencegah praktik monopoli oleh pihak swasta maupun korporasi besar.

Namun, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai implementasi kebijakan ini selama ini masih lemah. Akibatnya, ketimpangan penguasaan tanah semakin parah, terutama oleh perusahaan-perusahaan besar.

Berdasarkan data KPA, banyak perusahaan hanya mengurus Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) untuk tujuan spekulatif, tanpa memanfaatkan tanah tersebut secara produktif.

“Di sektor perkebunan, penguasaan lahan oleh korporasi sawit terus meluas. Dari 15,39 juta hektar pada 2014 meningkat menjadi 17,76 juta hektar pada 2022. Sementara itu, petani hanya menguasai rata-rata lahan kurang dari 0,5 hektar,” ungkap KPA dalam rilisnya.

Ketimpangan ini turut memicu konflik agraria di berbagai daerah. KPA mencatat, selama periode 2015–2024 terjadi 3.234 letusan konflik agraria dengan luas mencapai 7,4 juta hektar dan berdampak pada 1,8 juta keluarga.

Konflik terbanyak terjadi di sektor perkebunan, disusul sektor kehutanan dan infrastruktur.

Pemerintah dinilai belum memiliki komitmen politik yang kuat untuk menyelesaikan konflik agraria secara menyeluruh.

Selama dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo, KPA telah mengusulkan 851 Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) dengan luas mencapai 1,7 juta hektar. Namun hanya 2,46 persen yang berhasil diselesaikan, dan sebagian besar berasal dari tanah eks-HGU swasta.

“Belum ada satu pun konflik agraria dengan badan usaha milik negara seperti PTPN yang diselesaikan,” ujar KPA.

Menyikapi rencana terbaru dari Menteri ATR/BPN, KPA mengingatkan agar penertiban tanah terlantar tidak dilakukan secara sepihak dan salah sasaran.

Penertiban harus menyasar tanah-tanah milik korporasi besar yang sudah tidak dimanfaatkan, bukan masyarakat kecil yang menggantungkan hidup dari tanah.

KPA juga menekankan pentingnya reformasi dalam implementasi kebijakan ini.

Penertiban tanah harus menjadi bagian dari penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah kepada kelompok rentan, seperti petani gurem, buruh tani, masyarakat adat, nelayan, hingga masyarakat miskin kota.

Untuk itu, KPA mengajukan empat langkah kunci yang harus dijalankan pemerintah:

1. Mencegah monopoli penguasaan tanah dengan menertibkan tanah-tanah yang ditelantarkan oleh perusahaan besar.

2. Menempatkan HGU dan HGB korporasi besar sebagai target utama, bukan masyarakat kecil.

3. Mengintegrasikan penertiban dengan agenda reforma agraria demi menyelesaikan konflik secara permanen.

4. Menjalankan proses yang transparan dan partisipatif, agar kebijakan tepat sasaran dan mendapat dukungan publik.

KPA berharap pemerintah serius menindaklanjuti rencana ini dan menjadikannya sebagai tonggak pembaruan agraria di era pemerintahan Presiden Prabowo.

Organisasi ini juga mengajak media dan jurnalis untuk terus mengawal isu ini agar mendapat perhatian publik yang lebih luas.

Reporter: Konstantin
Editor: Redaksi Go Indonesia.id
Sumber : Grub konsorsium Pembaharuan Aggraria

 


Advertisement

Pos terkait