Ratusan Rakit PETI Kuasai Sungai Batang Tebo, Diduga di Lahan Oknum APH

IMG 20251011 WA0001

BUNGO  | Go Indonesia.id – Aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kabupaten Bungo kembali memantik perhatian publik. Setelah sebelumnya ramai diberitakan soal puluhan rakit PETI yang beroperasi di pinggir Jalan Lintas Muaro Bungo – Jambi, kini kegiatan serupa kembali ditemukan di wilayah Dusun Babeko, Kecamatan Bathin II Babeko, Kabupaten Bungo.

Informasi yang dihimpun menyebutkan, ratusan rakit PETI bebas beroperasi di aliran Sungai Batang Tebo, tepatnya di kawasan Pulau Sewang. Ironisnya, lokasi tersebut diduga berada di atas tanah milik salah satu oknum aparat penegak hukum (APH) berinisial DS.

Bacaan Lainnya

Advertisement

Aktivitas penambangan ilegal itu dikabarkan dikoordinir oleh tiga Bos besar berinisial A, H, dan Y, warga Dusun Tanjung Menanti. Mereka mengerahkan pekerja untuk mengoperasikan rakit-rakit bermesin dompeng yang menimbulkan kebisingan, merusak ekosistem Sungai, dan mencemari air Sungai Batang Tebo.

Salah seorang warga sekitar mengaku takut melapor karena adanya dugaan keterlibatan pihak berpengaruh.

“Kami takut, karena yang punya lahan katanya orang kuat. Kami hanya bisa melihat Sungai kami makin rusak,” ujarnya dengan nada cemas.

Kondisi Sungai Batang Tebo kini kian memprihatinkan. Air yang dulunya jernih kini berubah menjadi keruh kecoklatan, ikan-ikan banyak mati, sedimentasi meningkat, dan abrasi mengancam permukiman warga di tepi Sungai.

Sebelumnya, setelah maraknya pemberitaan, aparat gabungan memang sempat melakukan razia di sejumlah titik. Namun sayangnya, razia tersebut tidak sampai ke lokasi inti di Pulau Sewang, tempat ratusan rakit PETI beroperasi bebas. Fakta ini memunculkan tanda tanya besar di masyarakat: mengapa operasi tidak menyentuh titik utama aktivitas ilegal itu?

Masyarakat Bathin II Babeko kini mendesak Kapolda Jambi untuk turun langsung ke lapangan dan menindak tegas para pelaku PETI beserta oknum yang diduga membekingi.

“Kami mohon kepada Kapolda Jambi agar benar-benar menindak tegas para pelaku PETI dan oknum yang membekingi mereka. Kalau dibiarkan, kami khawatir Sungai Batang Tebo akan mati,” tegas salah satu tokoh masyarakat setempat.

Aktivitas PETI tersebut jelas melanggar hukum. Berdasarkan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, disebutkan :

“Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah).”

Selain itu, dampak pencemaran yang ditimbulkan juga dapat dijerat Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyatakan :

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu lingkungan hidup dipidana dengan penjara paling singkat 3 tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000.”

Menanggapi maraknya aktivitas PETI ini, Prof. Dr. KH. Sutan Nasomal, S.Pd.I, SE, SH, MH, LLB, LLM, Ph.D, selaku Akademisi Hukum, menilai bahwa lemahnya penegakan hukum dan adanya dugaan pembiaran dari oknum aparat menjadi akar utama persoalan tambang ilegal di Daerah.

“Penegakan hukum tidak boleh pandang bulu. Jika benar ada keterlibatan oknum aparat, maka itu pelanggaran serius terhadap integritas institusi. Negara tidak boleh kalah oleh kepentingan kelompok tertentu,” tegas Prof. Sutan Nasomal.

Ia juga menambahkan bahwa aktivitas PETI yang dibiarkan tanpa tindakan tegas bukan hanya tindak pidana, tetapi juga kejahatan terhadap lingkungan dan kemanusiaan.

“Kerusakan Sungai bukan sekadar soal pencemaran. Ini soal hak hidup masyarakat dan keberlanjutan alam. Aparat harus bertindak cepat dan tegas, bukan menunggu tekanan publik baru bergerak,” ujarnya.

Masyarakat berharap aparat penegak hukum dan Pemerintah Daerah tidak menutup mata terhadap persoalan ini. Jika dibiarkan terus-menerus, kerusakan Sungai Batang Tebo akan menjadi bencana ekologis yang diwariskan kepada generasi mendatang.(*)

*Redaksi*


Advertisement

Pos terkait