INDONESIA | Go Indonesia.id – Serangan brutal militer Israel ke Palestina kembali mengguncang Dunia, memantik rasa marah dan sedih yang mendalam di hati banyak orang, termasuk Bangsa Indonesia.
Sebagai Negara yang dikenal cinta damai, berbagai langkah solidaritas telah dilakukan, mulai dari Demonstrasi, penggalangan Donasi, hingga diplomasi Internasional.
Namun, di tengah perbincangan serius ini, muncul satu ide yang menggelitik, menggunakan Santet untuk menghentikan tentara Israel.
Indonesia, sebagai Negara yang kaya akan tradisi mistis, tentu tak asing dengan praktik seperti Santet. Namun, mengapa upaya ini tidak pernah muncul sebagai solusi nyata?? Untuk menjawabnya, kita perlu mengacu pada teori antropolog Claude Levi-Strauss dalam bukunya The Sorcerer and His Magic (1949), yang membahas bagaimana praktik sihir bekerja.
Levi-Strauss mengemukakan bahwa keberhasilan sihir, termasuk Santet, membutuhkan Tiga elemen yang saling terkait, yaitu :
1. Dukun yang melakukan Santet harus benar-benar percaya pada kekuatannya. Jika ada keraguan sedikit pun, ritual akan gagal. Dalam konteks ini, para dukun Nusantara mungkin tak diragukan lagi kepercayaannya terhadap ilmu yang mereka miliki.
2. Korban santet harus percaya bahwa dirinya bisa terkena sihir. Jika korban tidak percaya atau bahkan tidak menyadari bahwa dirinya menjadi target, kekuatan Santet tidak akan bekerja.
3. Masyarakat sekitar korban juga harus percaya bahwa sihir itu nyata. Kepercayaan kolektif ini memperkuat efek psikologis pada korban, yang kemudian memengaruhi keberhasilan sihir.
Dalam kasus tentara Israel, unsur kedua menjadi kendala utama. Mereka berasal dari budaya yang jauh dari kepercayaan terhadap sihir seperti Santet.
Bahkan, mereka mungkin tidak tahu bahwa ada orang di belahan Dunia lain yang mencoba menyerang mereka secara gaib. Tanpa kepercayaan ini, “hubungan logis” yang menjadi inti keberhasilan Santet tidak tercipta.
Hal serupa terjadi pada masa penjajahan. Mengapa Dukun Indonesia tidak bisa menyantet penjajah Belanda?? Jawabannya sama, orang Belanda tidak percaya pada kekuatan mistis lokal, sehingga efek psikologis yang diperlukan tidak terbentuk.
Santet, menurut Levi-Strauss, bukan sekadar soal mantra, dupa atau boneka jerami. Ini adalah praktik psikologis yang bergantung pada kepercayaan individu dan kolektif. Tanpa itu, ritual Santet hanyalah pertunjukan tanpa hasil nyata.
Dari pada berandai-andai tentang kekuatan Santet, mungkin lebih baik kita fokus pada langkah-langkah nyata untuk mendukung Palestina. Diplomasi, bantuan kemanusiaan dan doa adalah bentuk solidaritas yang lebih efektif.
Selain itu, sejarah telah menunjukkan bahwa kepercayaan dan kekuatan gaib tak dapat dipaksakan pada mereka yang tak mempercayainya.
Pada akhirnya, upaya mendukung Palestina membutuhkan kerja sama global yang nyata, bukan sekadar harapan pada sesuatu yang tidak dapat dibuktikan.
Santet, meski menjadi bagian dari warisan budaya kita, tetap memiliki batasan dalam konteks modern ini.(*)
*Redaksi*