Tambang Pasir Ilegal Bintan: Penertiban Terlambat, Kerusakan Sudah Terlanjur Menganga

IMG 20251205 WA0028 scaled

BINTAN | Go Indonesia.id_ Dari udara, sebagian wilayah Bintan tampak seperti kulit bumi yang dicabik-cabik. Lubang-lubang besar bekas galian pasir tersebar di berbagai titik, ditinggalkan begitu saja tanpa pemulihan.

Pada musim hujan, kubangan itu berubah menjadi genangan luas yang berbahaya. Di musim panas, ia memunculkan debu, erosi, dan tanah longsor kecil yang merusak kebun warga.(5/12/25).

Bacaan Lainnya

Advertisement

Advertisement

Kerusakan itu bukan peristiwa baru. Tambang pasir ilegal telah berlangsung lama, dan masyarakat menilai penertiban aparat terjadi terlalu lambat.

Pengawasan Lemah, Pelaku Leluasa Berkembang

Menurut warga yang ditemui , lemahnya pengawasan membuat pelaku tambang ilegal leluasa memperluas galian dari tahun ke tahun. Vegetasi hilang, tanah kehilangan daya ikat, dan bentang alam berubah drastis.

Di beberapa titik, lereng yang dulu hijau kini menjadi tebing pasir curam yang siap runtuh kapan saja.

โ€œKalau dari awal ada pengawasan ketat, kerusakannya tidak akan sebesar ini,โ€ ujar seorang tokoh masyarakat Bintan.

Lubang-lubang yang dibiarkan menganga tanpa reklamasi membuat risiko lingkungan meningkat. Ketika hujan deras turun, air mengisi kolam-kolam bekas tambang, menciptakan potensi kecelakaan dan pencemaran air tanah.

Penertiban Dinilai Terlambat

Warga mengakui bahwa upaya penertiban mulai terlihat belakangan, namun langkah itu dianggap tidak sebanding dengan skala kerusakan.

Masyarakat berharap pemerintah daerah, kepolisian, dan Dinas Lingkungan Hidup membentuk pola koordinasi yang jelas agar penindakan tidak sekadar sporadis.

โ€œYang dibutuhkan bukan hanya razia sesaat, tapi sistem yang bisa memastikan aktivitas ilegal tidak muncul kembali,โ€ kata seorang warga.

Kerangka Hukum Sudah Ada โ€” Pelaksanaan yang Dipertanyakan

Sebenarnya aturan mengenai pertambangan dan perlindungan lingkungan sudah lengkap.
Warga bahkan mengingatkan kembali beberapa dasar hukum:

UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,

UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,

PP No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Namun, kerangka hukum yang kuat itu tidak banyak berarti ketika pengawasan di lapangan lemah. Masyarakat menilai implementasinya sering tersendatโ€”di satu sisi ada aturan, namun di sisi lain pelanggaran tetap berlangsung bertahun-tahun tanpa penindakan yang tegas.

Peran Satgas PKH dan Harapan yang Menggantung

Warga meminta Satgas Penegakan Hukum Lingkungan (PKH) diberikan kewenangan penuh untuk menindak para pelaku tambang ilegal dan memastikan ada pemulihan nyata di lokasi-lokasi yang rusak. Mereka juga menuntut penertiban dilakukan tanpa pandang bulu.

โ€œJangan hanya pekerjanya yang ditangkap. Penanggung jawabnya harus ada pertanggungjawaban,โ€ kata salah satu warga yang kesal dengan lambannya penyelesaian masalah ini.

Sebagian masyarakat bahkan mengusulkan agar lahan bekas tambang direklamasi dan dimanfaatkan kembali untuk kepentingan publik, seperti ruang terbuka, kolam retensi, atau kawasan hijau.

Tanggung Jawab yang Belum Selesai

Hingga kini, warga Bintan terus menunggu langkah pemulihan yang jelas. Kerusakan lingkungan yang timbul dari tambang ilegal bukan masalah jangka pendek.

Mereka khawatir bahwa jika tidak ditangani secara serius, Bintan akan kehilangan daya dukung ekologis yang sudah rapuh.

โ€œTambang ilegal sudah terlalu lama dibiarkan. Sekarang waktunya pemerintah bertindak nyata,โ€ ujar seorang warga yang ditemui

Reporter : Edy


Advertisement

Pos terkait