JEPARA |Go Indonesia.id- Persidangan Terdakwa kasus pidana pelanggaran UU ITE Daniel Frits Maurits Tangkilisan, M.A. Bin Harry Luntungan Tangkilisan, beberapa kali sudah digelar di Pengadilan Negeri Jepara dengan dihadiri oleh Majelis Hakim, JPU, Terdakwa, Tim Kuasa Hukum Terdakwa, Kuasa Hukum dari Perkumpulan Masyarakat Karimunjawa Bersatu (PMKB), serta pengunjung sidang dari berbagai unsur lapisan masyarakat di Kabupaten Jepara.
Persidangan dari nomor perkara: 14/Pid.Sus/2024/PN Jpa ini adalah proses sebuah penjelasan dan penegasan yang menjadi dasar hukum menurut H. Noorkhan, SH., selaku penasehat hukum Perkumpulan Masyarakat Karimunjawa Bersatu (PMKB)
kepada awak media, Sabtu (2/3/2024) antara lain yaitu: 1. Sesuai surat dakwaan dari JPU di PN Jepara terdakwa didakwa (dakwaan kesatu) atas perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 45A ayat (2) jo Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pasal 45A ayat (2) UU ITE: βSetiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) UU 1/2024 Perbuatan seseorang yang menyebarkan kebencian terhadap suku, agama, ras, dan antargolongan (βSARAβ) melalui media elektronik. Lalu, orang yang melanggar ketentuan tersebut dapat dipidana penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda maksimal Rp1 miliar. 2. Dalam pertimbangan hukum, perbuatan terdakwa yang membuat tulisan di situs jejaring sosial facebook tidak dapat lagi dinilai sebagai bentuk ‘kontrol sosial’ atau kritik membangun terhadap pelestarian lingkungan hidup yang ada di Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Sebab tulisan terdakwa sudah mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap umat Islam yang menggunakan Masjid atau Mushola sebagai tempat beribadah.
“Unsur bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) sudah terpenuhi, dengan cukup membaca teksnya. Jelas ada kalimat “Masyarakat yang menikmati tambak seperti udang gratis, masjid, mushalla, lapangan volley, dibangun duit petambak, itu persis kayak ternak udang sendiri.”
“Tanpa analisa dan kajian oleh pendapat ahli pidana, ahli bahasa (linguis), maupun ahli ITE sekalipun, terkait temuan atau laporan konten yang melanggar UU ITE tersebut, jelas ada sentimen negatif (kategori individu) dan berpotensi untuk menimbulkan konflik yang dipicu oleh unggahan Terdakwa di platform medsos Facebook,”.
H. Noorkhan, SH., menegaskan,” Menyamakan Mushola dan Masjid dengan ternak udang (otak udang) adalah tindakan mengandung unsur yang menimbulkan rasa kebencian maupun permusuhan,” tegasnya.
“Tulisan Terdakwa
secara spesifik menyebutkan Mushola dan Masjid adalah hal sensitif yang bisa menimbulkan terganggunya kerukunan umat beragama dan berpotensi memecah belah masyarakat yang bersifat majemuk seperti di Indonesia.”
“Oleh karena itu, penetapan status untuk menghindari konflik berkepanjangan akibat SARA khususnya di Kecamatan Karimunjawa,” cetusnya.
Sudut Pandang
Kasus ini bisa berbeda sudut pandangnya apabila terdakwa tidak menyebutkan Masjid dan Mushola melalui akun facebooknya. Terdakwa mengunggah status di facebook dan membagikan informasi tersebut di grup facebook sehingga penyebaran informasi semakin cepat dan meluas.
3. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan surat edaran terkait penerapan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Surat Edaran Nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif itu diteken Kapolri pada 19 Februari 2021. Dua poin pedoman penanganan perkara dan penerapan Undang-undang ITE bagi penyidik Polri dalam Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/2/11/2021 bahwa
Penyidik berprinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimatum remidium) dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara. Namun, terhadap para pihak dan/atau korban yang akan mengambil langkah damai agar menjadi bagian prioritas penyidik untuk dilaksanakan restorative justice terkecuali perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatis. 4. Pelanggaran oleh Terdakwa merupakan kejahatan berbahasa dan kebebasan berpendapat. Ujaran kebencian bermuatan isu suku agama ras dan antargolongan (SARA) berpotensi memecah belah bangsa serta menimbulkan keonaran. Pelaku yang menyebarkan ujaran kebencian dapat ditindak secara hukum dan dipenjara. 5. Terdakwa walaupun mempunyai hak dan dilindungi kemerdekaan menyatakan pikiran dan kebebasan berpendapat. Namun, semestinya Terdakwa harus bijak dalam menggunakan media sosial dengan cermat, cerdas, baik dan sehat. Terakhir, kebebasan berekspresi dan berpendapat merupakan bagian dari HAM dan demokrasi, namun tetap ada batas-batasnya dan pelaksanaannya diatur dengan Undang-undang. Masyarakat bisa memahami bahwa hukum yang berlaku di dunia nyata juga berlaku di dunia maya. Dan, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, ini memang ada pengaturan khusus untuk penggunaan teknologi informasi. Dan, untuk mewujudkan budaya beretika di ruang siber. Serta bertujuan untuk mengingatkan masyarakat agar pengguna medsos tidak mengunggah konten-konten yang bersifat provokatif atau bermuatan SARA. 6. Kasus pidana Terdakwa pelanggaran UU ITE di Jepara ini, akan memberikan pembelajaran kepada warga masyarakat luas pengguna Medsos seperti aplikasi Facebook. Bahwa, tulisan atau konten yang mengandung unsur ujaran kebencian, maupun menyinggung SARA bisa berakhir di penjara sebagai konsekuensi tidak berhati-hati dan bijak dalam menulis.
Editor : Zahra
Reporter : Eko / Red.