#EDITORIAL
Oleh : Andah Wibisono AP .SH
Go Indonesia.id_Β Ia bukan seorang pejalan kaki biasa, melainkan seorang penghitung bintang. Matanya, yang terbiasa menatap langit malam, kini tertuju pada jalan sunyi yang ia lalui.
Di hatinya, terukir luka yang tak kunjung sembuh, luka yang tercipta dari rindu yang tak terungkap.jumat(20/9/24)
Ia membunuh tanpa menyentuh, merindu tanpa harus bertemu. Sebuah paradoks yang hanya dipahami oleh hati yang terluka. Ia berjalan dalam kesunyian, di tengah keramaian yang tak kunjung henti. Ia mencari makna dalam setiap langkahnya, bertanya pada Ilahi Rabby,
“Apakah jedanya akan semakin panjang, atau telah sampai di perhentian yang telah direncanakan?”
Kisah-kisah orang di sekelilingnya berkejaran, saling berlomba mencari posisi. Titik dan koma, tanda baca yang seharusnya memisahkan dan menyatukan, kini hilang dalam lautan kata-kata yang tak berujung.
Ia bertanya-tanya, apakah mereka akan terus berputar dalam lingkaran yang sama, atau akhirnya menemukan makna yang sebenarnya?
Ketika siang membuka pintu dan malam menutup jendela, ia mendengar suara-suara berbisik di antara desis dan diam.
Suara-suara orang-orang yang kehabisan gula untuk memaniskan dunia. Pahit sekarang tak hanya di ujung lidah, tetapi telah meracuni setiap halaman rumah.
Keramaian menjadi satu-satunya pilihan. Percakapan menjadi senjata dalam peperangan yang mematikan. Kata-kata kehilangan makna, terjebak dalam pusaran kesia-siaan.
Ia terjebak dalam paradoks, seorang penghitung bintang yang terlupakan dalam lautan manusia.
Namun, di tengah kesunyiannya, ia menemukan kekuatan. Ia menemukan keindahan dalam kesederhanaan.
Ia menemukan makna dalam setiap bintang yang ia hitung. Ia menemukan harapan dalam setiap langkah yang ia ambil.
Ia adalah seorang laki-laki yang terluka, tetapi ia juga seorang pejuang. Ia adalah seorang penghitung bintang yang tak pernah menyerah pada kegelapan.
Ia adalah bukti bahwa bahkan dalam kesunyian yang paling dalam, cahaya selalu ada.
Reporter : Indah Razak