TANJUNGPINANG | Go Indonesia.id — Forum diskusi bertajuk “Kopi Sore untuk Kepri” yang digelar oleh komunitas Gerakan Bersama (Geber) bersama Kepala Dinas Pariwisata Kepri, Hasan, mengungkap realitas dan tantangan serius dalam pembangunan sektor pariwisata Kepulauan Riau. Bertempat di Tanjungpinang, forum ini mengangkat isu strategis, mulai dari capaian target hingga ketimpangan koordinasi dan lemahnya promosi wisata.
Dalam diskusi tersebut, Hasan menekankan bahwa target Rp17 triliun dari sektor pariwisata bukan sekadar angka ambisius, melainkan bentuk motivasi kolektif untuk mendorong pemerintah kabupaten/kota lebih aktif membenahi sektor pariwisata. Namun ia mengakui, “Target ini tidak akan tercapai jika hanya dibebankan ke provinsi. Sinergi semua pihak, termasuk pelaku usaha dan kepala daerah, adalah kuncinya.”
Hasan juga menyebut perlunya pelibatan langsung Gubernur Kepri dalam menyatukan langkah strategis lintas daerah, serta menggagas pertemuan lanjutan dengan para kepala daerah se-Kepri untuk menyusun peta jalan pariwisata yang terintegrasi dan berkelanjutan.
Kritik Tajam: Promosi Dangkal, Infrastruktur Lemah
Diskusi forum mengupas sejumlah persoalan klasik yang terus membayangi pengembangan pariwisata Kepri, antara lain:
Minimnya koordinasi lintas daerah,
Infrastruktur yang timpang,
Promosi wisata yang lemah secara naratif,
Pelayanan publik yang belum memadai, khususnya di Tanjungpinang.
Promosi pariwisata dianggap terlalu fokus pada tampilan visual semata tanpa kedalaman narasi. Banyak konten hanya menunjukkan panorama tanpa identitas lokal, nilai budaya, atau potensi ekonomi. “Promosi yang tidak berbasis riset hanya akan menghasilkan konten viral sesaat, bukan kunjungan berkelanjutan,” tegas seorang peserta forum.
Ironisnya, Tanjungpinang—yang dikenal sebagai pusat budaya Melayu—malah menjadi sorotan akibat tumpukan persoalan mendasar, seperti pengelolaan sampah, rendahnya kompetensi tenaga layanan wisata, dan lemahnya infrastruktur destinasi.
Usulan: Badan Otorita dan Tata Kelola Akuntabel
Sebagai solusi, komunitas Geber mengusulkan pembentukan kembali Badan Otorita Pariwisata Kepri sebagai lembaga koordinatif lintas sektor. Kekosongan kelembagaan saat ini dianggap menjadi penyebab utama tumpang tindih kebijakan dan pemborosan anggaran antarwilayah.
Usulan ini diperkuat dengan dorongan penerapan Good Tourism Governance—yakni tata kelola pariwisata yang partisipatif, transparan, dan berorientasi hasil. Setiap program pariwisata harus memiliki indikator kinerja jelas, seperti jumlah kunjungan, dampak ekonomi lokal, hingga kepuasan wisatawan.
Pakar administrasi negara Dr. Adi Suryanto (LAN RI) mengingatkan pentingnya pembagian peran yang tegas dan terukur:
> “Kalau angka besar ditetapkan, maka harus jelas siapa mengerjakan apa, dan bagaimana mengukurnya. Semua harus berbasis data, bukan asumsi.”
Senada, Prof. Nyoman S. Dharma Putra (UGM) menekankan bahwa promosi saja tidak cukup:
> “Promosi tanpa kesiapan destinasi, pelatihan SDM, dan pemeliharaan fasilitas publik adalah omong kosong. Kita sedang bicara soal membangun kepercayaan pasar.”
Lingkungan dan Sosial Jangan Diabaikan
Forum juga menyoroti dampak lingkungan dan sosial dari proyek wisata. Banyak proyek pariwisata justru memperburuk ekosistem, meminggirkan komunitas lokal, dan menciptakan beban sosial baru. Para peserta mendesak diterapkannya audit sosial dan lingkungan terhadap setiap inisiatif wisata.
Menanggapi masukan tersebut, Hasan menyatakan keterbukaannya dan berjanji akan mendorong pembentukan forum konsultatif reguler antara pelaku usaha, masyarakat, dan pemerintah. Ia menegaskan, estimasi Rp17 triliun didasarkan pada hitungan logis: 1,7 juta kunjungan dikalikan dengan rerata belanja wisatawan. Tapi semua itu hanya akan tercapai bila sistem pendukung dibenahi secara serius.
Penutup: Potensi Besar, Tapi Sistem Lemah
Forum menegaskan bahwa Kepri memiliki potensi wisata yang luar biasa, mulai dari budaya Melayu hingga kekayaan bahari. Namun semua itu akan menjadi sia-sia jika tata kelola tetap lemah, promosi tidak strategis, dan praktik anggaran masih dikendalikan oleh calo serta kepentingan jangka pendek.
> “Kita tidak butuh banyak janji, kita butuh roadmap dan kemauan bersama,” tutup salah satu peserta diskusi.
Reporter : Edy