Tambang Emas Ilegal Menggila di Solok, Mafia Berjaya, Hukum Tak Bertaji

IMG 20250909 WA0027

SOLOK | Go Indonesia.Id – Deru mesin dompeng dan raungan Eskavator kini lebih lantang dari pada suara hukum di Kabupaten Solok. Dari Nagari Aie Luoh Jorong Kipek, Supayang, Sirukam, Simanau, Rangkiang Luluih, hingga Sumiso, tambang emas ilegal (PETI) beroperasi nyaris tanpa hambatan. Gunung dikeruk, Sungai dikeruhkan, lahan pertanian warga porak-poranda.

Hasil penelusuran lapangan membongkar fakta, aktivitas ini tidak berjalan liar, melainkan terkendali oleh jejaring mafia tambang.(9/9/25).

Bacaan Lainnya

Advertisement

Dua nama paling santer disebut warga: Niko di Nagari Kipek dan Suli di Nagari Supayang. Keduanya disebut-sebut sebagai β€œraja kecil” bisnis haram yang menggurita dari Kecamatan Tigo Lurah hingga Samo Payung Sakaki.

PETI di Solok sudah jauh melampaui sekadar aksi nekat warga mencari nafkah. Skemanya rapi, buruh kasar dijadikan pekerja lapangan, sementara keuntungan besar mengalir ke segelintir aktor.

β€œKalau soal emas ilegal di sini, tidak bisa lepas dari nama Niko dan Suli. Semua orang tahu itu, tapi tidak ada yang berani bicara keras,” ungkap seorang warga dengan nada waspada.

Kuat dugaan, jejaring ini mendapat perlindungan oknum tertentu. Maka tak heran, meski sudah berkali-kali disorot publik, aktivitas tambang tetap berjalan mulus.

Kerusakan yang ditinggalkan kian brutal. Sungai berubah keruh, ikan mati, sawah tertimbun lumpur, tanah longsor mengancam, hingga konflik antar warga tak terelakkan.

β€œYang kaya hanya segelintir orang, yang sengsara rakyat kecil. Air minum sudah tak layak, lahan rusak, hutan habis. Tapi aparat pura-pura tak melihat,” keluh seorang tokoh masyarakat.

Foto lapangan memperlihatkan Eskavator, mesin dompeng, dan tenda pekerja berdiri di tengah hutan, persis di tepi Sungai yang kini cokelat pekat. Bukti telanjang bagaimana alam diperas habis-habisan.

Ironis, hukum yang seharusnya melindungi rakyat justru tampak ompong. Razia memang sesekali dilakukan, tapi lebih mirip sandiwara. Buruh kecil ditangkap, sementara otak besar duduk manis menikmati hasil jarahan emas.

Padahal aturan jelas :
– Pasal 158 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba : penambangan tanpa izin dipidana 10 tahun penjara dan denda Rp10 miliar.

– Pasal 98 UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH : perusakan lingkungan disengaja dipidana 3-10 tahun dan denda Rp3-10 miliar.

– Pasal 55 KUHP : aktor intelektual atau pihak yang turut serta bisa ikut dijerat.

Namun di Solok, pasal-pasal itu seperti tulisan mati.

Gelombang desakan publik makin deras. Masyarakat menuntut aparat tidak lagi menjadikan rakyat kecil sebagai tumbal hukum. Nama-nama besar seperti Niko dan Suli harus berani disentuh jika penegakan hukum ingin dianggap serius.

Akademisi sekaligus pakar hukum, Prof. Dr. KH. Sutan Nasomal, S.Pd.I, SE, SH, MH, LLB, LLM, Ph.D, menegaskan bahwa praktik pembiaran ini telah mencederai marwah Negara.

β€œJika aparat hanya menyentuh pekerja kecil dan membiarkan otak mafia tetap bebas, itu sama saja Negara kalah oleh mafia. Hukum kehilangan martabatnya,” tegas Prof. Sutan.

Jika dibiarkan, Solok bukan hanya kehilangan alamnya, tapi juga kehilangan martabat hukum. Sebab inilah cermin telanjang bagaimana mafia emas ilegal bisa menundukkan Negara.(*)

*Redaksi*


Advertisement

Pos terkait